Untuk beberapa hari ini saya ingin menampilkan postingan-postingan lama saya berupa cerpen (cerpen baru masih digarap tapi kayaknya masih perlu waktu) so sambil nunggu cerpen baru, sahabat-sahabat mungkin berkenan membaca cerpen-cerpen saya terdahulu. Ini salah satunya, selamat membaca :)
***
Angin laut masih berdesir, membelai-belai dedaunan pohon-pohon kelapa di pesisir laut Jawa, ombak-ombak kecil dan besar bergulung-gulung menghempas batu-batu karang, dan Yasmin pun masih berdiri disana, diatas kelembutan pasirnya. Kerudung putihnya melambai-lambai dipermainkan angin, sesekali diperbaikinya tutup kepalanya itu jika telah mengganggu pandangannya yang jauh ke tengah laut.
Seakan-akan, nampak jauh disana peristiwa dua tahun yang lalu, saat-saat di mana peristiwa itu telah meninggalkan bekas di hatinya. Peristiwa yang tak pernah masuk di dalam barisan do’a-do’anya dahulu,namun ternyata hati yang “besar” akan sanggup menampung seberapapun kenyataan hidup,seperti yang dialaminya……
Yasmin… Mahasiswi sebuah perguruan tinggi di Jakarta, berasal dari Aceh. Tinggal merantau jauh dari orang tua, namun mampu menjaga kehormatan dirinya, wanita muda yang anggun dan sederhana,berkhidmat pada pesan kedua orang tuanya untuk bersungguh-sungguh menuntut ilmu di “kampung” orang. Menyewa sebuah kamar kost sederhana bersama kawan perempuannya satu fakultas Dista.
Pertemanan mereka berkembang menjadi persahabatan. Satu sama lain saling membantu, saling menolong, walau terkadang adakalanya terjadi perbedaan pendapat, namun hal itu tidaklah mengganggu persahabatan mereka.
Pagi itu seperti biasa, Yasmin telah berada di kampusnya untuk mengikuti perkuliahan pagi dari dosennya. Tiba-tiba,dari arah belakang seseorang menepuk pundaknya,
”Dista..?”.
Dista tersenyum sambil membetulkan tali tas punggungnya. Yasmin memperhatikan sesuatu yang berbeda;
”Dista….., kamu lagi seneng ya pagi ini?”.
Tapi Dista hanya mengacungkan telunjuknya menempel di bibirnya:
” Ssssttt…..”.
Yasmin mengangkat alisnya, namun dia membiarkan Dista dengan misteri nya.Merekapun melangkah ke dalam kelas untuk mengikuti perkuliahan.
Dua jam berlalu tanpa kesan apapun, mahasiswa keluar dari ruangan perkuliahan satu persatu. Yasmin dan Dita pun berjalan beriringan, hanya sesekali,sesekali yang nampak seringkali bagi Yasmin, Dista memeriksa pesawat Handphone-nya, atau mengetik sesuatu melalui smsnya. Kampus yang ramai, namun sepi bagi Yasmin karena sejak tadi Dista seolah-olah sendirian, sibuk dengan HP-nya, walau bersama Yasmin di sampingnya.
Seolah-olah dikomando, tanpa perjanjian langkah kaki kedua gadis itu mengarah ke arah bangku taman di dekat kolam, tempat favorit keduanya saat menunggu jam kuliah berikutnya.
Begitu keduanya duduk di bangku itu, Dista sudah akan memeriksa lagi pesawat HP-nya,namun sebelum jarinya menyentuh keypad, Yasmin menahan tangan Dista lembut dan tersenyum sambil berkata :
”Halloo….apakah Dista masih disitu?”.
Dista menolehkan wajahnya dan melihat Yasmin dengan wajah penuh tanda tanyanya . Dista tertawa :
”Hihihi….penasaran nih yee”.
Tapi Yasmin tetap menahan tangannya di lengan Dista. Dista berkata:
” OK…OK, aku lupa punya one curious girl di kampus ini hehe.Tapi janji yaa, ini cuman di antara kita aja”. Dista lalu bercerita dengan suara perlahan seolah-olah tak ingin diketahui rahasianya oleh orang banyak .
Malam itu, Yasmin di kamarnya sendiri duduk di atas meja mengerjakan beberapa tugas dari dosennya. Dista sudah 3 hari cuti pulang sementara ke tempat asalnya di Yogya. Jarum jam sudah menunjukkan angka 11, namun mata Yasmin tak hendak beristirahat. Dibiarkannya waktu berjalan yang terasa lambat, dicobanya untuk menikmati sayatan-sayatan kecil di hatinya yang masih agak terasa perih.
Dikenangnya lagi pembicaraannya dengan Dista di kampus beberapa hari yang lalu tentang rahasia kecilnya. Tentang seorang pemuda, satu kampus dengan mereka, yang menjadi asisten dosen mereka selama ini dan juga ketua Rohis di kampus, yang Yasmin “kagumi”selama 1,5 tahun ini namun ia simpan itu sekedar sebagai sebuah semangat saja. Pemuda itu, di saat-saat Yasmin bersimpati dan menaruh sekuncup harapan, ternyata telah melabuhkan harapannya sendiri terlebih dahulu kepada sahabatnya Dista.
Ya, Syam - yang Yasmin kagumi kepintarannya, keshalehannya,- yang Yasmin “melihat’ dari kejauhan kerinduannya akan gambaran-gambaran tentang rumah tangga yang sakinah, mawadah warahmah akan lebih berseri seandainya jika perahu itu didayungi bersama Syam, pemuda yang seringkali pula membantunya dalam beberapa event di kampus yang karenanya sempat pula Yasmin mensyukuri kebersamaan itu, pemuda yang ternyata kini telah memilih Dista untuk menjadi pendamping hidupnya.
------
Berita “gembira” itu, dikabarkan Dista dengan tenang, namun terasa bagai halilintar di telinga Yasmin."Dia melamarku tadi malam Yasmin." Berdetak kencang hati Yasmin, mengapa ia harus mendengar "Happy Ending" ini, mengapa ia tidak sensitif selama ini jika Dista sering menceritakan Syam kepadanya di kamar mereka,di kampus atau dimana saja setiap mereka pergi bersama. Yasmin mengira Dista hanyalah fans Syam belaka yang sering merasa tersanjung oleh perhatian pemuda itu,hanya saja berbeda dengan Yasmin Dista lebih ekspresif mengungkapkan ketertarikannya. Sementara dirinya hanyalah seorang gadis pemalu yang tak mungkin akan mengumbar kegembiraannya setiap saat ia merasa Syam memperhatikannya. Namun Yasmin bukanlah gadis yang dengki, berita sebesar apapun tidak akan menggoyahkan kelembutannya dalam bersikap. Bahkan Yasmin memeluk Dista erat, membisikkan do’a yang tulus di telinga sahabatnya dan tersenyum tanda turut bergembira untuk kebahagiaannya:
" Selamat ya Dis, aku tahu dia laki-laki yang baik, shaleh dan pantas mendapatkan gadis seperti kamu. semoga pernikahan kalian diberkahi Allah, aku ikut senang".
Mata Yasmin berkaca-kaca menatap Dista, ia ingin Dista menduga itu adalah air mata bahagianya walau sesungguhnya kepedihan telah bersenyawa didalamnya. Mereka berdua akhirnya tertawa-tawa
Yasmin menekur di muka monitor, menatap beberapa foto yang diambil saat pelaksanaan acara Bedah Buku di kampus, ada salah satunya foto dirinya, Dista dan Syam dengan latar belakang mesjid kampus.Semua tersenyum dalam foto itu, seharusnya menjadi kenang-kenangan yang indah menurut Yasmin, tetapi mengapa air mata itu jatuh di pipinya, semakin lama semakin tercurah, pundak Yasmin berguncang pelan, terdengar suara terisak dan bisikan lirih Yasmin;
”Ya Allah, Tuhanku….terima kasih telah Engkau karuniakan hamba saat-saat yang baik ini. Dari sejak kecil hingga kini, tidak pernah Engkau mengecewakan hamba. Ya Allah, sembuhkanlah luka hati ini, ringankanlah mata penglihatan dan mata hati hamba jika melihat kebersamaan mereka. Bahagiakanlah mereka Tuhan. Dan cukuplah bagi hamba Allah dan RasulNYA".
Mengalir air mata Yasmin, airmata keikhlasan, digelarnya sajadah ingin melewatkan malam itu bersama Tuhannya.
Hari pernikahan Dista dan Syam tidak kurang dari satu minggu lagi. Namun berita menggemparkan itu memecah keasyikan. Dista mendapat kecelakaan berat di tikungan jalan daerah Yogya saat sedang mempersiapkan pernikahannya. Saat Yasmin tiba di Rumah Sakit di Yogya, ia melihat Syam sendirian terpekur di sudut hall, berdesir hatinya, entah mengapa kini ia merasa iba melihat kekasih sahabatnya itu bak burung yang terluka sayapnya, merasakan kesedihannya yang luar biasa dan kekhawatiran akan kehilangan orang yang dicintainya. Namun perhatian Yasmin terbelah, suara pekik orang-orang di ruang UGD mengejutkannya. Yasmin melihat ibunda Dista menangis, dan Ayah Dista berdiri lemas, dipapah kerabat beberapa orang. Berdegup kencang jantung Yasmin, dan benarlah ternyata Dista dinyatakan telah meninggal dunia.Yasmin terguncang hatinya, namun di saat-saat seperti itu sisi lain dirinya menuntutnya untuk sadar, ada orang lain yang lebih “berhak” untuk merasakan kepedihan besar itu, dialah Syam calon suami Dista. Bergetar bibir Yasmin mengucapkan istirja:
”Innalillahi wa inna ilahi rooji’uun, sesungguhnya kami semua milik Allah,dan sesungguhnya kami semua kepadaNYA akan kembali.”
------
Hari-hari Yasmin dan Syam kini menjadi sendu. Ditinggal orang yang dicintai dan dekat dengan mereka bukanlah hal yang mudah. Namun kebersamaan mereka telah mendekatkan kembali taqdir yang dahulu terasa jauh. Yasmin merasakan kini perhatian Syam kepadanya bertambah setiap hari. Perasaan berbunga yang dulu pernah dirasakannya kini datang kembali.Walau tidak sesemerbak dahulu karena jauh di lubuk hatinya, ada perasaan rendah diri yang sulit terhapus, dirinya hanyalah perempuan pengganti di sisi Syam setelah kepergian Dista. Namun ia berusaha untuk selalu mensyukuri kebahagiaan itu, masa lalu tidak mungkin dihapus, karena bagaimanapun itu telah terjadi.Yasmin mencoba merangkai kehidupannya kembali dan membangun cita-citanya.
Hari wisuda itu akhirnya datang juga. Orang tua Yasmin dan kedua kakaknya datang dari Aceh. Kebahagiaan yang membuncah dihatinya, kedatangan ibunya dan kelulusannya telah menambah seri di wajah cantik Yasmin, apalagi saat disadarinya ternyata Syam pun hadir untuk dirinya menikmati bersama kebahagiaannya. Itulah saat-saat yang mendebarkan hatinya dalam kehidupannya. Di hari wisudanya, Syam melamar dirinya kepada orang tuanya, memintanya untuk menjadi istrinya. Terasa terang benderang dunia Yasmin dan penuh aroma yang menyenangkan, walau entah mengapa lututnya saat itu terasa lemas.
Hari-hari Yasmin kini menjadi lebih berwarna. Tidak kurang dari 2 bulan lagi pernikahannya akan digelar. Syam pun telah membawanya berkenalan dengan kedua orang tuanya dan keluarganya. Keluarga Yasmin di Aceh pun sibuk mempersiapkan pernikahannya. Namun ada sedikit kekhawatiran Yasmin, mengingat telephone dari Syam malam tadi tentang keluhannya di bagian pinggangnya. Memang sudah beberapa minggu ini, Syam terlihat semakin sering mengeluh sakit. Namun Yasmin tidak pernah menyangka, seminggu kemudian setelah tak kuat menahan sakitnya dan Syam dibawa ke Rumah Sakit ternyata saat diperiksa oleh dokter ahli penyakit dalam, Syam dinyatakan menderita kelainan ginjal, satu ginjalnya telah tak berfungsi dengan baik, sedang satu ginjal yang lainnyapun dalam kondisi yang sama. Saat itu juga Syam diharuskan menjalani rawat inap di Rumah Sakit.
Dua minggu sudah Syam dirawat di Rumah Sakit, berat badannya turun drastis, keadaanya tidak semakin membaik.
Yasmin amat berduka melihat kekasihnya terbaring di pembaringan rumah sakit tanpa dirinya bisa merawat sepenuhnya. Statusnya yang belum menjadi istri yang sah menghalanginya untuk dapat sekedar menyentuhnya. Hanya kepada ibunda Syam ia dapat menitipkan sekedar buah tangan dan do’a tulusnya yang tak henti-henti ia alirkan dari bibir dan hatinya.
Sedang keadaan Syam semakin memburuk saja, dan dokterpun telah menyerah sementara hari pernikahannya yang telah tertulis di dalam undangan telah sangat dekat tak kurang dari 2 hari lagi. Hingga terucap dari bibir tipisnya, kepada ibunda Syam:
”Wahai ibu, saya tidak bisa duduk diam seperti ini saja. Laksanakanlah pernikahan kami pada waktu yang ditetapkan semula. Nikahkan kami sedang Abang Syam masih bisa mengenali saya. Izinkan saya berbakti kepadanya sebagai istri dalam keadaan sakitnya ini Ibu”.
Ibunda Syam memandanginya haru, di saat-saat di mana ia merasa tak pantas lagi mengharap cinta seorang bidadari untuk putranya yang telah kehilangan ketampanannya, kegagahannya, di saat dimana ia mengira hanya kasih orang tualah yang akan setia menemani penderitaan putra tercinta,Yasmin mengajukan diri untuk tetap melaksanakan pernikahannya hanya supaya dapat turut merawat sepenuhnya sang putra. Ibunda Syam memeluk Yasmin dan menangis di pundaknya, sementara Syam yang terbaring disamping mereka menitikkan air matanya tanpa mampu berkata-kata.Ia merasa baru sekarang ia menemukan permata sejatinya.
Tepat seperti yang telah tertulis di dalam kartu undangan, dilaksanakanlah pernikahan itu. Syam sudah tak mampu duduk, namun ia mampu melafalkan ikrar nikahnya walau dengan suara yang lemah. Semua yang hadir di kamar rumah sakit itu tertunduk, atmosfir ruangan dipenuhi keharuan melihat sepasang pengantin yang bersanding. Mempelai putri yang cantik mengenakan kerudung putih berhias bunga sederhana duduk di kursi, sementara Mempelai pria terbaring lemah di ranjang rumah sakit sedang lengannya dipenuhi jarum infus dan obat-obatan.
Maka dimulailah hari-hari penuh pengabdian Yasmin kepada suaminya di rumah sakit. Bahkan ia pun kini harus ikut memikirkan biaya yang harus ditanggung untuk perawatan dan pengobatan selama di rumah sakit. Jika ada waktu, saat menunggui suaminya Yasmin merajut benang untuk dibuatnya mainan atau topi-topi bayi yang lucu. Bukan untuk bayi mereka, tetapi untuk Yasmin jual kepada beberapa teman yang merasa iba dengan penderitaan keluarganya sebagai ikhtiarnya mencari nafkah karena disadarinya suaminya belum mampu melaksanakan kewajiban itu saat ini. Yasmin tidak tergoyah, rasa sedihnya tidak membuatnya berhenti tersenyum untuk Syam suaminya.Setiap ada waktu berdua,Yasmin selalu menceritakan hal-hal menarik yang ditemuinya, mulai dari rajutannya yang salah warna, perawat shift malam yang judes tapi suka memberinya segelas kopi panas, anak-anak teman mereka yang menitipkan hadiah untuk pernikahan mereka dan sebagainya.Yasmin ingin suaminya tidak terlalu menderita, setidaknya ia dapat melihat senyum di bibir Syam setiap hari sudah menjadi syurga baginya.
--------------
Yasmin masih bersimpuh di atas sajadahnya, saat tengah malam itu dari sudut matanya ia melihat tangan Syam mencoba menggapainya. Yasmin segera bangkit, dan menangkap jemari suaminya lalu didekapnya:
”Ada apa sayang?”bisiknya. Syam menatapnya lekat dan berbicara dengan suara lemah:
”Terimakasih…” Syam tercekat, lalu ia melanjutkan bicaranya:
”Abang rasa telah dekat waktunya…., Abang mensyukuri semua nikmat Allah selama ini…bahkan penyakitku ini…. Tapi tidak ada nikmat Allah yang lebih besar daripada dicintai dan menikahi Yasmin Nurul Aini. Abang memohon kepada Allah cukuplah Yasmin sebagai Bidadariku dan Abang ridha kepada adik sebagai istriku. Maafkan Abang belum menjadi suami yang baik ya.... tolong sampaikan maaf Abang kepada Ibu, Bapak Abang. Tentu saja Orangtuamu juga Dik. Sampaikan maaf Abang belum dapat membahagiakanmu....... Abang janji,sesudah semua ini akan kusampaikan kepada Allah Tuhanku bahwa kamu telah memberikan yang paling berharga buat Abang. Setiap habis sholat, ikutkan Abang dalam do’amu ya dik”.
Yasmin meneteskan airmatanya dan menganggukkan kepalanya, pertanyaan bergelayut di pikirannya, adakah ini saatnya, inikah saat-saat perpisahan itu?. Namun Yasmin tak ingin menangis dihadapan suaminya, bahkan dalam saat yang kritis sekalipun Yasmin ingin tetap tegar mengantar sang kekasih kepada Kekasihnya yang lebih mengasihinya, IA lah Allah.
Yasmin mendekatkan bibirnya ke telinga Syam membisikkan kalimat-kalimat dzikir dalam zona pendengarannya. Terus demikian hingga mendekati Shubuh, saat akhirnya suaminya menarik nafas yang terakhir untuk berpulang kepada Sang Khalik. Yasmin sendiri yang menutupkan mata lelaki yang dicintainya itu. Dan tidak berhenti membacakan ayat-ayat AL-Qur’an di sisinya, hingga perawat shift pagi datang dan mengetahui keadaannya.
Yasmin masih berdiri di pantai itu. Kaki lembutnya disibakki air ombak yang terus meninggi. Diperbaikinya lagi kerudungnya yang dipermainkan angin laut. Yasmin menggerakkan bibirnya, berbisik lirih :
” Ya Allah, tak ada yang terbaik selain dari QudrahMU, cukupkanlah hamba hanya denganMU. Terimakasih telah memilih hamba untuk melalui salah satu jalan taqdirMU untuk bertemu orang-orang yang hamba cintai walau diantaranya hanya sebentar saja, namun apalah arti sekejap atau pun lama di hadapanMU, tutuplah dan dinginkanlah luka hati hamba ya Rabby, jikalau ada alam lain tempat pertemuan para kekasih, pertemukanlah kami kembali ya Allah, jikalau tiada maka cukuplah Engkau saja bagi hamba”.
Yasmin memandang ke arah laut sekali lagi, matanya basah oleh air mata beningnya namun hari telah senja, suara adzan maghrib tidak lama lagi akan berkumandang. Yasmin memetik sekuntum bunga perdu lalu membalikkan badannya, berjalan menyusuri pesisir , hatinya bergetar oleh dzikir dan bibirnya melantunkan do’a-do’a.
--------------
Terimakasih untuk Rahma -19 bln- yang tak bosan menghampiri dan duduk di pangkuanku saat menulis cerita ini