Dari http://ronijamal.com/mewaspadai-penyakit-persepsi. Semoga tulisan ini menambah nilai ibadah beliau di sisi Allah karena sangat berbobot isinya.Insha Allah
Nampaknya tak pernah disadari—apalagi ditafakuri secara mendalam—bahwa dalam kehidupan bermasyarakat ada sebuah kebiasaan yang “sebenarnya” tidak baik, tetapi justru (seolah-olah) dijadikan sebuah budaya yang “layak” dilestarikan. Bahkan, ia sebenarnya dilarang oleh syareat Islam. Kebiasaan tersebut adalah “kecenderungan melihat lebih dahulu siapa yang bicara, dari pada melihat isi pembicaraannya”.
Yang memprihatinkan, kebiasaan ini dilakukan oleh hampir semua lapisan masyarakat. Apakah golongan mereka yang berpendidikan ataukah tidak. Lapisan intelek cendekia maupun yang etos pikirnya biasa/rendah. Singkatnya, mayoritas masyarakat terjangkit virus “penyakit persepsi”.
Bukti jelasnya, terjadinya perbedaan perlakuan dalam menyikapi isi perkataan seseorang maupun pada si pembicaranya. Tidak jarang tutur kata yang “baik”, tetapi keluar dari mulut orang biasa, maka diremehkanlah tutur kata tersebut. Sebaliknya, nasehat “tidak baik” yang terlahir dari orang yang dianggap mulia, terhormat, apalagi berkharisma, maka diperjuangkanlah nasehat tersebut dengan penuh pengorbanan. Bahkan sampai mati pun dihadapi dan diperjuangkan.
Kebiasaan ini kalau dibiarkan berlanjut, dapat memperparah endemi “penyakit persepsi” yang selama ini ada. Menyuburkan sikap diskriminatif satu sama lain, karena cenderung melihat kelebihan (kemampuan) seseorang (mungkin juga kelompoknya) dan memandang remeh yang kebetulan tidak punya kelebihan. Bisa menimbulkan faham-faham baru yang pada saatnya nanti bisa berubah menjadi “bom waktu”. Pada gilirannya, dapat merongrong nilai-nilai kebenaran, yang notabene satu-satunya pemiliknya adalah Tuhan sendiri (Al Haq min Rabbika).
Teorema “Undhur”
Larangan melihat siapa yang berbicara, adalah sabda Nabi SAW: undhur maa qaala walaa tandhur man qaala, lihat/dengarkan apa yang dikatakan dan jangan melihat siapa yang bicara. Larangan ini bila dicermati secara mendalam, nampak ada sesuatu yang “irrasional”. Yaitu tidak boleh memandang situasi dan kondisi fisik lahiriah si penyampai. Semisal kedudukan, pengalaman, gelar, pangkat, kharisma, ketenaran maupun status sosial. Padahal logikanya, fatwa seorang ulama besar—apalagi telah bergelar kyai-profesor-doktor—tentu lebih kredibel dan akurat di banding fatwa orang yang tidak pernah sekolah. Bukankah hal seperti ini (dalam kacamata logika) merupakan sesuatu yang sangat irrasional (tidak masuk akal)?
Disinilah rupanya letak rahasia kalimat-Nya, Al Haq min Rabbika, bahwa kebenaran itu mutlak milik/dari Tuhan semata. Ia digenggam sendiri oleh-Nya. Sedang dalam diri manusia, hakekatnya tidak ada kebenarannya. Malahan sebaliknya, tempatnya salah dan dosa (makanul khatha’ wa nisyan), kejam lagi bodoh (zaluman jahula), perbuatannya melebihi batas. Maka menjadi logis kiranya bila larangan melihat wujud fisik si penyampai ini diberlakukan kepada semua manusia tanpa kecuali.
Sebaliknya, karena kebenaran tersebut digenggam sendiri oleh-Nya, sedang secara substansi (secara wujud) Dia tidak akan menampakkan diri di hadapan manusia, maka menjadi kuasa-Nya pula bila kemudian merealisasikan/menampakkan kebenaran tersebut melalui fisik lahiriah hamba. Tentu saja bukan sembarang hamba yang Dia “titipi” kebenaran, melainkan mereka yang benar-benar Dia pilih sendiri. Contoh nyatanya penampakan lahiriah Nabi SAW sendiri. Beliau tidak pernah mengenyam pendidikan di bangku sekolah (TK pun belum pernah). Apalagi pengalaman lain semisal kepemimpinan, keorganisasian, menejemen dan lain sebagainya. Tetapi nyatanya melalui fisik beliau-lah kebenaran-Nya diturunkan. (Oleh karenanya, sangat logis sekali bila keberadaan beliau kemudian ditentang oleh para tokoh dan ahli kitab di waktu itu).
Oleh karenanya, bagaimanapun, kebenaran itu tetap mutlak menjadi milik-Nya. Ia tetap digenggam sendiri oleh-Nya. Kita sebagai hamba harus mampu menangkapnya. Namun, untuk bisa menangkap substansi kebenarannya, diperlukan kerja sama yang sinergis antara akal sebagai prosesor utama dan hati nurani sebagai sang maharaja. Keduanya harus bisa berjalan secara bersama, sebagai “team work” yang solid.
Nilai Rasional dan Siliring Qudrat
Menyikapi fenomena di atas, hal mendasar yang sangat penting dan seharusnya diprioritaskan adalah bagaimana membawa diri menyadari dengan sesadar sadarnya bahwa manusia itu tempatnya salah dan dosa. Zaluman jahula (kejam lagi bodoh). Menyadari pula bahwa bagaimanapun hebatnya kemampuan hamba ini, tetap saja tempatnya salah dan dosa. Sedangkan yang sebenarnya hebat adalah Yang Maha Sempurna.
Sebab, bila “alam sadar” yang demikian telah terbuka, tentu akan memandang sama terhadap mereka-mereka yang kebetulan mempunyai nilai “lebih” dan yang kebetulan tidak mempunyai kelebihan. Setidaknya, tidak terlalu berlebihan dalam menyikapi (membedakan) keduanya. Yang seharusnya dipandang adalah nilai “rasional” dan nilai “siliring qudrat”-nya.
Kebenaran itu (yang datang dari Tuhan) dimanapun tempat dan asalnya pasti rasional. Dapat ditangkap oleh akal pikiran sehat. Sejalan dengan “agama itu sesuai dengan akal pikiran sehat”. Ia bisa terlahir oleh siapa pun dan dari manapun. Sedang siliring qudrat adalah “butiran ikhlas”. Yaitu perbuatan maupun tutur kata yang “tidak diaku” sebagai hasil perbuatan dan tutur katanya. Ikhlas, bersih, semata-mata karena Tuhan oleh Tuhan dan untuk Tuhan. “Sumende” (bersandar) pada ke-Mahakuasa-an Tuhan.
Ini yang harus ditekankan oleh setiap orang yang punya potensi “bicara”. Demikian halnya mereka yang punya kemampuan (kelebihan) yang kemudian diakses orang banyak. Ia harus menekankan (baik pada dirinya sendiri maupun pendengar/ pembacanya) bahwa kebenaran itu milik Tuhan semata. Sedang pada diri “saya” adalah tempatnya salah dan dosa. Sehingga, apapun yang saya tutur/sampaikan, sangat mungkin ada salah dosanya. Andai ada “nilai” kebenarannya, ia datang dan milik Tuhan semata. Bukan dari/milik saya, walaupun terlahir dari saya. Sebaliknya bila ada salahnya, ia adalah datang dan milik saya sepenuhnya.
Kemudian bila ternyata oleh Tuhan diberi kelebihan tertentu, menjadi “dai kondang” misalnya, harus berusaha untuk bisa merasa dan mengakui bahwa dirinya pun tempatnya salah dan dosa. Tidak merasa mempunyai kelebihan sedikitpun, tidak mempunyai keistimewaan apapun. Ini yang harus diperangi (jihadunnafsi) dengan semangat jihad yang sesungguhnya, serta berusaha keras untuk membumikannya dalam dada (hati nurani, roh, dan rasa). Walaupun orang lain mengakui dirinya hebat dan istimewa, tetap saja harus mengakui tempatnya salah dan dosa.
Dirinya hanya “sak derma” (sekedar) menjalani apa yang telah digariskan Tuhan kepadanya. Lir kadya godong asem sing kumampul ing sak tengahing samudra (bagaikan daun asam yang terombang-ambing di atas gelombang samudera). Bukan daun asamnya yang bisa bergerak kesana kemari (apalagi merasa mempunyai nilai lebih), melainkan karena semata-mata “katut” (mengikut) gelombang samudra Yang Maha Kuasa. “Nyelup” (menyelam) dalam ke kedalaman makna kalimah laa haula walaa quwwata illa billah.
Sebaliknya, bagi yang kebetulan sebagai pendengar/pembaca, juga harus menyadari bahwa sehebat apapun kemampuan manusia dalam bertutur kata, tetap saja harus diyakini tempatnya salah dan dosa. Kebenaran tetaplah menjadi milik-Nya. Ia dapat terlahir oleh dan melalui siapapun. Melalui orang hebat bisa, melalui orang yang tidak pernah sekolah pun bisa juga. Jangan mudah terjebak oleh kehebatan penyampainya. Sebagaimana pepatah timur tengah “yang benar akan selalu benar walaupun tidak seorang pun melakukannya, yang salah tetap salah walaupun semua orang melakukannya”.
Jadi, sebagai pendengar/pembaca setia pun harus punya “filter-pemikiran” yang baik. Jangan hanya karena difatwakan oleh ulama “se dunia” misalnya, lantas meng-”iya”-kan (membenarkan) begitu saja. Harus didahului oleh pemikiran yang mendalam. Otak dan akal pikiran harus bekerja keras semaksimal mungkin sebelum akhirnya memutuskan menerima/menolaknya. Demikian halnya ketika yang memberi saran masukan kebetulan anak kecil (tidak pernah sekolah), harus dilakukan pemikiran serupa sebelum akhirnya memutuskan. Ingat, keputusan apapun yang akan diambil, diri sendirilah yang nantinya bertanggung jawab sepenuhnya. Bukannya ulama/ dai-kondang/ tokoh-hebat/anak kecil yang diikuti fatwanya.
Capailah jiwa—berikut pemikirannya—yang merdeka sejati sepenuhnya. Jangan mudah terjebak oleh kehebatan si “tukang kata” apalagi retorikanya. Sebab, bila nasi sudah menjadi bubur, tidak akan pernah bisa kembali pada wujud asalnya.
Capailah jiwa—berikut pemikirannya—yang merdeka sejati sepenuhnya. Jangan mudah terjebak oleh kehebatan si “tukang kata” apalagi retorikanya. Sebab, bila nasi sudah menjadi bubur, tidak akan pernah bisa kembali pada wujud asalnya.
Kebiasaan “buruk” melihat siapa yang berbicara, secara perlahan harus dikikis habis. Jangan terbiasa melihat fisik lahiriah penyampainya. Cermati nilai-nilai kebenarannya. Adakah disana kebenaran yang sejalan dengan kehendak-Nya atau kebenaran yang sejalan dengan kehendak penyampainya. Sebab, kebenaran yang datang dari manusianya, belum tentu sejalan dengan kebenaran milik-Nya. Sedang kebenaran milik/dari-Nya, logikanya, pasti sejalan dengan pemikiran sehat manusia.