This foto belong to AFSP Central Florida

Kamis, 25 Februari 2010

H a l i m u n



Sukawana, nama sebuah daerah yang terletak 30 kilometer sebelah utara kota Bandung tepatnya di Lembang. Sejauh mata memandang, nampak hamparan perkebunan teh, bak permadani hijau yang menutupi tanahnya yang subur. Di arah selatan berdiri megah Gunung Tangkuban Perahu di mana lerengnya dinaungi hutan Pinus yang semerbak. Latar belakang biru muda dari langitnya dan awan putih yang berarak-arak dihembus angin yang lembut memayungi jalan berbatu yang di kiri kanannya tumbuh pohon-pohon strawberry yang berjajar rapih, menghalangi pandangan dari kandang-kandang sapi penduduk serta tempat pengolahan susunya. Di bukit-bukitnya, memancar mata air-mata air yang mengaliri sisi-sisinya, jika terkena cahaya matahari, air yang dingin sejuk itu akan berkilau indah sekali, begitu murni karena penduduknya sungguh-sungguh menjaga sungai-sungai kecil mereka agar tetap dalam keadaan yang bersih sehingga dapat mereka gunakan untuk minum keluarganya. Letak dataran ini cukup tinggi di atas permukaan laut membuat udaranya sangat lembab dan senantiasa diselimuti kabut tebal, masyarakat setempat sering menyebutnya halimun. Dari sekeping syurga dunia inilah, kisahnya dimulai…


Hari itu matahari sudah cukup tinggi, para wanita petani pemetik teh dengan mengenakan topi besarnya yang mereka sebut caping dan berbalut kaus tangan asyik mencabuti pucuk-pucuk daun teh dan melemparkannya masuk ke dalam keranjang besar yang mereka lilitkan di bahunya. Sayup-sayup, dari kejauhan terdengar suara orang memanggil-manggil:

”Miir…Amiiir…!!, seorang laki-laki separuh baya dengan kaus lusuh berlari-lari mengejar seseorang yang dipanggilnya Amir.

“Mir, tunggu sebentar..hhhh!!. Orang yang dipanggil Amir itu menoleh ke arah suara yang memanggilnya, lalu didekatinya orang tua itu:

”Abah Toha,....ada apa Bah?”, Amir menghentikan langkahnya saat orangtua bernama Toha itu mendekat. Pak Toha berkata:

” Mir, kamu ketemu si Dzul nggak siang ini?” Pak Toha masih tersengal-sengal. “Insha Allah pak, di masjid ba’da dzuhur ini, kenapa pak?” Amir bertanya sambil tangannya mempererat ikatan kardus berisi buku-buku.

“Ini, ada titipan dari non Martha buat dia, bilang sama Dzul, Abah nggak bisa ke Pesantren malam ini ya, Abah disuruh Pak Haji ke Bandung, ini buat dibawa ke pesantren Mir?. Pak Toha menyerahkan amplop ke tangan Amir sambil bertanya melihat satu kardus berisi buku-buku di tangan Amir.

Amir menjawab:”Iya Bah, buat nambah isi perpustakaan”. Amir menerima sehelai amplop besar dari tangan pak Toha, dimasukkannya ke dalam saku bajunya dan menyanggupi amanahnya. Keduanya bersalaman dan berpisah kembali pada pekerjaannya masing-masing.





Air pancuran di tempat wudhlu pria mengalir, segar terasa saat menyentuh tangan Dzulkifly. Dibasuhkannya air pancuran itu ke wajahnya dan seluruh anggota wudhlunya, sejuk, seakan-akan luruhlah segala persoalan di kepala dan hatinya dengan air itu. Selesai berwudhlu, Dzulkifli yang di kalangan teman-temannya sering dipanggil hanya Dzul itu melangkahkan kakinya ke arah masjid, Tiba-tiba seseorang memanggilnya:
”Dzul…!!!”. Amir menyimpan dus berisi buku-bukunya di teras masjid, lalu berlari kecil ke arahnya.
”Dzul, Bah Toha titip ini, katanya sih dari Martha buat antum, nih..”. Amir menyerahkan amplop putih besar itu kepada Dzul. Amir adalah teman dekat Dzul, mereka berteman sejak kecil dan bersekolah di pesantren yang sama, namun Amir tidak melanjutkan sekolahnya setelah lulus dari pesantren, sedang Dzul melanjutkan kuliah di Perguruan tinggi di Bandung.

Dzul memperhatikan amplop berwarna putih itu, ada namanya tertulis di sana dari Martha. Martha seorang kristiani yang lama telah ditinggal wafat ibunya, adalah teman Dzul dan Amir juga. Sejak kecil mereka bertiga berteman akrab. Ayah Martha seorang pendeta keturunan Belanda yang cukup dikenal di desa itu. Kesadaran tentang perbedaan agama diantara mereka sejak kecil menambah hikmah dalam suasana pergaulannya. Rasa saling menghormati keyakinan satu sama lain tidak menahan keakraban mereka. Orang tua Dzul yang notabene keluarga yang religius tidak pernah membeda-bedakan teman-teman anaknya. Seringkali Amir dan Martha makan siang di rumah orangtua Dzul. Jika bulan Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri tiba, Martha pun ikut menikmati atmosfirnya. Demikian pula ayah Martha, walaupun dia seorang pemimpin agama di gerejanya, tak pernah mempersoalkan berbaurnya pergaulan putrinya dengan warga setempat. Dia amat memperhatikan kepatutan dan kesantunan yang patut ia persembahkan kepada penduduk desa di mana ia tinggal sejak pertamakalinya.

Dzul membuka amplop itu, dan mengambil secarik kertas dari dalamnya, dibukanya lalu dibacanya surat dari Martha tersebut:



Kepada
Dzul
di tempat


Dzul, malam ini aku diantar papaku ke Bandara, besok pagi aku naik pesawat pertama ke London, do’akan aku ya Dzul. Salamku juga buat Amir. Enam bulan lagi aku balik. Mau dibawain oleh-oleh apa ? (Hihi, belum berangkat udah ngomong oleh-oleh nih). Okay, see you later.


Sahabatmu

-Martha-


Dzul melipat kembali kertas itu,lalu menoleh ke arah Amir:
”Martha berangkat malam ini, dia salamin antum juga tuh”. Amir mendengar kata-kata Dzul sebentar kemudian beranjak untuk mengambil wudhlu. Martha berangkat ke London untuk melanjutkan pendidikannya di bidang sastra Inggris di sana. Sudah 3 tahun terakhir ini, Martha merasakan sesuatu yang istimewa kepada Dzul teman sedari kecilnya, ia tidak menemukan perasaan seperti itu kepada teman laki-lakinya yang lain baik di kampusnya maupun di desanya. Namun ia menyimpannya baik-baik sehingga Dzul tidak menyadarinya.

Pernah di masa yang lalu, saat mereka beranjak remaja Amir diam-diam menyimpan rasa simpati kepada Martha, namun gadis cantik berkulit terang ini tidak menyadarinya karena perhatiannya tertuju kepada Dzul, pemuda sederhana yang sopan dan cukup menarik hatinya. Sering didapati Amir, Martha selalu memperhatikan Dzul. Walaupun posisi itu tidak menghalanginya untuk dapat mengungkapkan perasaannya kepada Martha, namun perbedaan keyakinan di antara mereka menahan Amir untuk melangkah lebih jauh, apalagi disadarinya Martha nampak lebih menyukai Dzul daripada dirinya. Hingga kini, Amir seolah tak mempermasalahkan itu lagi. Sedangkan Dzul sendiri, walaupun di beberapa kesempatan ia menangkap seperti ada binar yang lain di mata Martha jika sedang berbincang dengannya, namun ia tidak mengartikannya sesuatu apapun, karena Dzul sendiri, telah lama hatinya tertambat kepada seorang gadis, salah seorang santri wanita di pesantrennya bernama Salima.

Salima gadis manis dari Priangan yang pemalu, merupakan salah satu santri putri di pesantren Miftahul Huda. Dititipkan orang tuanya untuk menimba ilmu disana. Sejak kedatangannya di pesantren itu,Salima dikenal sebagai gadis yang manis berkulit sedikit gelap namun memiliki mata bak bintang kejora, pandangan matanya seakan mengandung sinar yang dapat menembus hati siapa yang memandangnya. Tetapi Salima selalu menundukkan pandangannya yang bersinar setiap kali berpapasan dengan lawan jenisnya, sperti yang selalu diajarkan orangtuanya untuk menjaga izzahnya. Gadis ini tak pernah berani menampilkan diri jika tidak karena disuruh oleh para ustadz-ustadzahnya mengambil beberapa berkas ke kantor pusat bersama seorang santri wanita temannya di mana Dzul bekerja di sana sebagai sekretaris di Dewan Harian Pesantren Miftahul Huda. Di sanalah mereka pertamakali bertemu.


------------------------------------------------------------------------


Hari-hari berjalan tanpa ada yang dapat menghentikannya kecuali Sang Pemilik, keadaan berubah satu persatu yang dahulu dekat mulai menjauh. Menjauh disebabkan beraneka sebab. Seperti yang terjadi pada Amir, dalam beberapa tahun ini Dzul semakin jarang bertemu dengan sahabatnya ini. Bahkan saat ibunda Dzul sakit pun, Amir tidak ada datang menjenguk. Setiap kali Dzul mencari ke rumahnya, ibunda Amir hanya mengatakan ketidak tahuannya ke mana putranya pergi di setiap malam-malam tertentu. Sesuatu hal yang tidak biasa dari Amir yang dikenalnya dahulu, seseorang yang sangat perhatian kepada orangtuanya. Jika ditanyakan tentang perkara itu, Amir hanya menjawab selintas saja, membuat Dzul berfikir bahwa hal itu memang bukan urusannya. Suatu hari Dzul datang kembali hendak mencari Amir ke rumahnya, di halaman depan nampak ibunda Amir sedang mengangkat nampan-nampan bambu berisi daun-daun teh muda yang selesai dijemur,Dzul mengucap salam:

”Assalamu’alaikum Bu”, ibunda Amir menoleh dan melihat kawan anaknya berdiri dipintu pagar :
”Alaikumsalaam..eeh ada Dzul. Silahkan masuk nak, ayo..”. Ibunda Amir tersenyum ramah kepada Dzul.

“Terima kasih bu”. Dzul berjalan memasuki pekarangan rumah itu, lalu duduk di kursi teras yang tersedia di sana. Ibunda Amir menyimpan nampan bambunya di dapur,lalu bergegas menemui Dzul di terasnya
”Nak Dzul sudah darimana? Kok nggak pake motor ?”.Ibunda Amir celingukan ke arah pagar rumahnya .
”Ooh motor saya di bengkel Bu, biasa bannya bocor,jadi sambil menunggu saya kemari. Amir sedang di rumah Bu?”. Dzul menanyakan keberadaan Amir, Ibunda Amir menjawab :
” Ooh Amir di rumah temannya di Bandung, sudah tiga hari, Ibu juga nggak tahu kapan pulangnya, ada kegiatan katanya, tapi ibu juga nggak tahu kegiatannya apa nak, Amir juga nggak pernah cerita. Ya begitulah nak Dzul, kadang-kadang Ibu juga merasa gimana ya, sering kalau Ibu sedang perlu bantuannya, Amir nggak ada dan itupun sulit dihubungi, HPnya sering mati. Nggak tahu lah Dzul, maklum Ibu kan udah tua, Bapaknya Amir juga sakit-sakitan, maunya Amir bantu antar bapaknya ke Puskesmas. Atau bantu angkat karung-karung teh itu ke pangkalan, Ibu sekarang sering sakit punggung, sedang kita semua kan masih butuh makan, Amir sendiri pekerjaannya jadi sering terbengkalai”.

Ibunda Amir berterus terang tentang keadaanya, karena dia tahu Dzul adalah teman akrab Amir sejak kecil. Teriris hati Dzul dibuatnya, ia seorang pemuda yang amat berbakti kepada ibundanya, mendengar Ibunda sahabatnya mengadukan hal seperti ini membuatnya prihatin terhadap Amir. Dzulpun meminta izin kepada ibunda Amir untuk menjenguk ayah Amir yang sedang sakit. Saat Dzul memasuki kamar itu, hatinya berdesir, di kamar yang gelap itu karena hanya ada sebuah jendela kecil yang tertutup tirai lusuh, nampak laki-laki yang sudah sepuh itu terbaring lemah di atas kasur lepeknya, ada segelas air bening dan dua bungkus obat di atas meja kecil di sebelahnya. Dzul menghampiri orangtua itu dan mencium tangannya dengan takdzim bagai kepada ayahnya sendiri:
Assalamu’alaikum Bapak”. Lelaki yang dipanggil bapak itu membuka matanya lalu mengawasi siapa yang mengajaknya bicara.
”Saya Dzul Pak, teman Amir” Dzul mencoba mengingatkan khawatir orangtua itu telah lupa. Bapak itu  mengangguk lemah lalu berkata:
”sendirian nak?”
“Ya Pak, bagaimana kabar Bapak? Maafkan saya baru menjenguk lagi. Sekarang apa yang terasa pak?”. Ditanya demikian ayahanda Amir menunjuk dadanya, seperti ingin mengatakan sesuatu tetapi tiba-tiba orangtua itu berguncang pundaknya menangis tak tertahankan. Dzulpun memberanikan diri mengusap-usap tangan renta Pak Jaya, dan membisikkan do’a, dimohonnya bagi orangtua itu keringanan dari Allah dalam menghadapi penyakitnya. Suasana menjadi hening, hanya terdengar tangis lelaki tua yang dulu semasa Dzul dan Amir kecil sering mengajaknya naik ke bukit memetik teh sambil mengawasi mereka bermain. Ibunda Amir berdiri di pintu kamar, matanya meneteskan airnya. Dzul mencoba menghibur Ibunda Amir, dalam keadaan seperti ini tentulah semakin berat beban yang harus ditanggungnya, melihat suami yang dicintai sakit adalah penderitaan tersendiri bagi seorang istri. Perasaan ini amat difahami oleh Dzul, karena ia pun menjadi saksi betapa sedih Ibundanya dahulu saat menyaksikan sakitnya almarhum ayahnya :
”Ya gak apa-apa Ibu ,Ibu tidak usah khawatir, mudah-mudahan Ibu dan Bapak selalu diberi kesehatan, saya ikut berdo’a Ibu. Insya Allah, besok saya kesini lagi, mungkin saya bisa minta tolong kawan saya seorang dokter di Puskesmas. Ibu, jika Ibu memerlukan bantuan, jangan sungkan telepon saya ya, saya anak Bapak dan Ibu juga kan Bu?”,

Ibunda Amir terdiam, entah kenapa hatinya terharu, dari teman anaknya ini ia mendapat kata-kata yang menentramkan hatinya sebagai orang tua. Sungguh ia berharap mendapatkannya dari anaknya sendiri. Ibunda Amir menjawab terbata-bata:
”Terima kasih nak, kamu baik sekali,semoga Allah membalasnya, nanti Ibu sampaikan kedatanganmu kepada Amir kalau sudah datang ya”. Dzul pun berpamitan karena hari sudah mulai gelap dengan diiringi pandangan kasih dari Ibunda sahabatnya.

Di atas motornya dalam perjalanan pulang Dzul merenung, mengingat sosok Amir sahabatnya. Memang dalam setiap perbincangannya kini, Amir terasa lebih bersemangat saat menceritakan kondisi zaman, di mana telah terjadi banyak kerusakan di masyarakat sehingga harus dilakukan perubahan besar untuk memperbaikinya. Dzul merasa bersimpati atas semangat sahabatnya ini, walaupun kadang-kadang ada beberapa hal dimana Dzul sangat berbeda pendapat dengan Amir, jika sudah demikian maka biasanya Dzul selalu mengalihkan pembicaraan. Apakah kegiatan yang diikuti Amir itu ?, Dzul tak tahu pasti. Ini fenomena di depan matanya yang kesekian kali setelah banyak hal yang sama disaksikannya terjadi pada beberapa temannya di kampus dulu. Dzul membelokkan motornya ke rute menuju rumahnya yang kini telah diterangi lampu-lampu jalan, suara jangkrik dan katak mulai saling bersahutan menambah syahdu suasana malam di desa Cikahuripan.


------------------------------------------------------------------------


Hari itu awal musim penghujan, bumi Cikahuripan selalu diselimuti mendung, namun entah mengapa hati Salima terasa riang, apakah ini karena surat itu. Surat untuk Salima dari Dzul. Surat itu diterimanya melalui ustadzahnya Ibu Aminah yang juga bibi dari Dzul yang mengajar di pesantrennya. Hanya kepada bibinya itu rupanya Dzul mempercayakan suratnya untuk disampaikan kepada Salima. Malam ini sudah ke tujuh kali Salima membuka surat dari Dzul, antara percaya dan tidak, Salima berulangkali membaca deretan huruf-huruf yang ditulis pemuda yang selalu membuat lututnya terasa lemas itu jika bersua di kantor pusat Pesantren Miftahul Huda.



15 Januari 2000
Kepada
Salima Athifah



Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Ukhty Salima, saya Dzulkifly seseorang yang mungkin belum Ukhty kenal . Saya pun tak tahu apakah akan Allah izinkan untuk dapat mengenal ukhty yang shalehah ini. Saya memberanikan diri menulis sepucuk surat ini karena saya pernah bermimpi, dan saya memohon kepada Allah agar mimpi itu terjawab dalam kehidupan saya sesungguhnya . Walaupun saya merasa malu, namun harus saya katakan. Demikian ini mimpi itu Ukhty . Saya telah bermimpi, dalam mimpi itu saya hendak terbang ke Syurga menggunakan sayap, tetapi sayap itu hanya satu, sehingga saya tak mampu melanjutkan perjalanan. Di kejauhan, saya melihat ukhty Salima pun demikian, hendak terbang ke sana, namun hanya memiliki satu sayap. Maka kemudian saya berharap dan entah mengapa kemudian berani bertanya kepada Ukhty, apakah kiranya Ukhty bersedia terbang bersama saya ke Syurga.
Namun sayang, dalam mimpi itu Ukhty tidak menjawabnya.
Ukhty Salima yang baik, melalui surat ini kini saya hendak bertanya kepada ukhty, apakah kiranya jawaban yang hendak ukhty sampaikan seandainya kita memiliki mimpi yang sama? Sudilah kiranya Ukhty menjawabnya agar tak gelisah lagi hati saya ini.



Mohon maaf atas kelancangan ini
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh


Dzulkifly Hassan




Terbanglah hati Salima menembus awan-awan, meluncur di pelanginya dan melayang-layang di antara embun sejuknya. Kupu-kupu dari kapas membawanya jauh ke negeri awan, membiarkannya menyentuh pelangi berwarna-warni lalu melepasnya dari ketinggian melemparkannya ke dalam air telaga berair jernih dan berenang-renang didalamnya. Salima mendekap surat itu dalam-dalam seakan-akan benda yang amat berharga yang disayanginya. Ingatannya hinggap pada saat-saat di mana ia menangkap senyum pertama Dzul yang ditujukan kepadanya di pesantren saat ada perayaan Milad Pesantren tahun lalu dan senyum-senyum Dzul berikutnya pada kesempatan-kesempatan lain. Surat itu tidak seperti surat biasa, lebih serupa dengan prosa atau fiksi sekaligus teka-teki untuk Salima. Terpekur Salima kini, tak tahu hendak berbuat apa, mengapa Dzul menempatkannya pada keadaan membingungkan sekaligus membahagiakan seperti ini. Salima tak pernah menerima surat bermakna cinta dari seorang pria, kecuali sms-sms usil dari beberapa teman pria di pesantrennya yang ia pun tak tahu darimana mereka mendapatkan nomor hand phone-nya. Salima sungguh bimbang bagaimana ia harus mensikapi surat dari Dzul itu. Apakah harus dibalasnya ? orang mengirim surat tentulah mengharapkan balasan pikirnya. Namun, bagaimana ia akan menjawab “mimpi” seorang laki-laki yang sering membuatnya tergetar ini, sedang kali ini pun Salima merasa sedang bermimpi. Yang ada dalam hatinya jika membaca surat itu hanya perasaan tersanjung dan bahagia saja. Ah betapa rumitnya, tetapi indah rasanya. Salima beristighfar, sadar dirinya baru saja terlena, ia pun pergi ke pancuran asramanya dan mengambil air wudhlu, kemudian menggelar sajadah mengadukan senang sekaligus gundah hatinya kepada Tuhannya.


------------------------------------------------------------------------


Sejak itu hari-hari Salima terasa indah, lingkungan pesantren yang sudah hampir dua tahun dia tinggali itu kini bagaikan istana Taj Mahl baginya, dan menara Masjidnya seakan-akan menjadi Menara Eiffel yang dipersembahkan untuknya, orang-orang yang berpapasan dengannya seolah-olah turut merayakan kebahagiaannya membuat bibir Salima selalu menyunggingkan senyum termanisnya.

“Ahh Tuhan, segala Puji bagiMU…beginikah yang dinamakan orang jatuh cinta?” bathin Salima saat menatap air mancur di kolam pelataran asrama putri masih di lingkungan pesantren, Salima mendekap dua kitabnya sedang tas tergantung di pundaknya .” Assalamu’alaykum…!!!”. Salima terperanjat saat seseorang menepuk pundaknya, ternyata Lastry teman satu kelasnya,:
”Lagi ngapain Sal? Laper ya..” Lastry tersenyum menyapanya. Salima tergagap, tak mengira kehadiran temannya itu:
” oh eh….alaykumsalaam….hehehe nggak lah. Lastry kamu buka Shaum di mana nanti ? Ikut berbuka di Aula atau di kamarnya Hafsah?” Salima memperbaiki letak tasnya.
“Mmh belum tahu Sal, aku ada pertemuan di Baitul Muslimah, mungkin aku nggak bisa ikut yang di Aula, liat nanti aja deh insha Allah. Eh Sal, udah jam 1 nih, kita berangkat yuk”. Lastry mengajak Salima segera pergi untuk mengikuti jadwal berikutnya, mereka berdua bergegas menuju kelasnya yang terletak tidak jauh dari asramanya.

------------------------------------------------------------------------
Lima bulan kemudian



Dzul baru saja pulang sore itu setelah rapat yang membuat badannya penat di pesantren, saat ia melihat seseorang sedang berbincang dengan ibunya di ruang tamu,
”Martha…” bisik Dzul, diapun menghampiri keduanya di ruangan. Saat Dzul masuk, kedua wanita itu menoleh kepadanya, ibunda Dzul tersenyum dan berkata lembut, :
”Naah orangnya sudah datang, Dzul..nak Martha sudah lama nunggu, duduklah, Ibu bawakan teh dulu. Nak Martha, ibu tinggal ya..”.

Martha tersenyum kepada ibunda Dzul dan menganggukkan kepalanya:”O ya Ibu, silahkan..”.
Ibunda Dzul bangkit dari duduknya dan pergi ke dapur membawakan minuman untuk anaknya yang tampak kelelahan. Dzul pun tersenyum kepada Martha yang tampak lebih kurus setelah 6 bulan tinggal di London. Dia duduk di kursi menghadap ke arah Martha, diliriknya ada sebuah bungkusan di atas meja :
”Kapan datang Mar?, Papa jemput ke Jakarta?” Dzul bertanya, tangannya bergerak membuka jaketnya yang agak basah terkena gerimis di luar lalu sedikit merapihkan rambutnya. Martha tersenyum kembali:
” Tadi malam Dzul, aku dijemput Papa di bandara, Papa kirim salam buat kamu. Ini ada oleh-oleh buat kamu, mudah-mudahan kamu seneng yaa”.
Martha menyodorkan bungkusan di atas meja ke arah Dzul. Dzul tersenyum mengambil oleh-oleh dari Martha berbungkus kertas kado berwarna biru itu, lalu dibukanya ternyata isinya sehelai syal tebal berbahan wool.

“Alhamdulillah, bagus banget Mar, akhirnya punya juga barang dari luar negri hehehe” Dzul tertawa bersama Martha. Ibunda Dzul muncul dari pintu membawakan secangkir besar teh manis hangat untuk anaknya;

”Waah, apa itu Dzul, bagus bener. Ibu juga dikasi baju dari Inggris loo sama nak Martha”. Ibunda Dzul tersenyum menyodorkan teh kepada Dzul, Dzul menerimanya lalu diseruputnya teh manis buatan ibunya tercinta, hangat membuat tubuhnya lebih nyaman. Mereka bertiga berbincang seputar kegiatan Martha selama di London, tentang kuliah-kuliahnya yang padat, tentang dosennya yang serius, teman-temannya yang banyak juga berasal dari Indonesia, sampai apartemennya yang sederhana tidak jauh dari kampusnya.

Martha juga menanyakan kabar Amir, hanya saja Dzul tidak bisa menjelaskan lebih banyak, akhir-akhir ini mereka berdua memang semakin jarang bertemu, entah apa kesibukan Amir lainnya, Dzul sendiri sibuk sebagai salah satu pengurus di Pesantren. Selama kira-kira satu setengah jam mereka berbincang, kadang diselingi tawa, suasana yang hangat menyambut kepulangan Martha dalam liburannya kali ini. Tidak lama kemudian Martha pamit pulang, setelah bersalaman dengan ibunda Dzul, Martha pun pulang ditemani supirnya.


-------------------------------------------------------------------------


Malam itu jam menunjukkan pukul 2.00, Dzul terbangun dari tidurnya karena mendengar suara pesawat selulernya berbunyi beberapa kali. Dalam keadaan masih mengantuk, Dzul mengangkat hand phonenya:
”Hallo…”. Jeda beberapa detik, dari seberang sana tidak segera menjawab seakan-akan hendak memastikan Dzul-lah yang menerima teleponnya, tidak lama terdengar suara seseorang berkata seperti berbisik :

”Dzul, ini ana…Amir”. Dzul keheranan, tidak biasanya ia menerima telepon malam-malam begini kecuali dari pengurus kantor pusat jika sedang ada event-event penting, apalagi Amir dia belum pernah menelponnya malam-malam begini, kecuali ada sesuatu hal yang sangat penting. :

”Amir..? Ini betul Amir? Ada apa Mir?”. Di seberang sana Amir kembali berbisik:
”Dzul, bisa keluar sebentar? Ana tunggu di depan, dekat pohon Mangga. Tolong cepat ya”. Amir menutup teleponnya.

Masih keheranan, Dzul membetulkan sarungnya, dan mengenakan jaketnya lalu pelan-pelan ia keluar dari kamarnya, menengok sebentar kamar ibunya, Dzul agak khawatir sebentar lagi ibunya pasti bangun untuk shalat malam seperti kebiasaannya. Maka ia agak berjingkat keluar melalui pintu dapur menuju pekarangan rumahnya, di mana terdapat beberapa pohon mangga milik orang tuanya. Di sana ia mencari-cari di mana Amir berada, terdengar suara orang bersiul dua kali menyerupai suara burung dari arah sebuah pohon di sebelah barat, di situ rupanya Amir menunggunya. Dzul celingukan ke kanan dan kiri, tidak habis berfikir mengapa Amir harus bersembunyi seperti itu untuk menemuinya. Dzul mendekat, dan Amirpun berkata setengah berbisik:
”Dzul ana nggak lama, ana mau minta tolong, buku-buku ini tolong tak usah dibaca-baca dulu, langsung dibakar ya, pagi ini juga harus sudah dibakar, ana sudah gak sempat, harus pergi sekarang juga. Dan tolong jangan ceritakan pada siapapun kedatangan ana ini. Kapan-kapan ana cerita …tolong Dzul, demi persahabatan kita”.

Dzul melihat satu dus besar yang mungkin berisi buku-buku yang dikatakan Amir. Amir menatap mata Dzul, seakan meminta kepastian amanahnya akan terjaga di tangan Dzul dengan baik. Melihat mata itu, Dzul membaca, Amir tak bisa ditanya tentang apa dan mengapa dia berbuat seperti ini, persahabatan mereka sejak kecil dan rasa saling percaya di antara mereka membuat Dzul hanya bisa mengangguk dan tidak bertanya lebih lanjut kecuali satu:
” Antum mau kemana Mir?”. Tapi Amir tidak menjawab, dia sudah berbalik dan berlari kecil menuju ke arah jalan di mana seorang laki-laki tertutup jaket tebal dan helm berwarna gelap sedang menunggunya di atas motor, dalam sekejap mereka berdua hilang dalam kegelapan malam. Dzul tertegun, memandangi kawan akrabnya yang menjauh, entah mengapa hati Dzul merasa tak enak, rahasia apakah yang sedang disimpan Amir, dan ingatan Dzul pun melayang kepada orang tua Amir, apakah mereka mengetahui kepergian anaknya ini? Terbayang guratan kesedihan di wajah ibunda Amir saat Dzul menemuinya tempo hari. Semoga Amir tidak mengecewakan mereka harap Dzul. Angin malam yang menusuk kulit memaksanya untuk segera masuk, dijinjingnya ikatan dus besar berisi buku-buku milik Amir itu dan Dzul pun kembali masuk ke kamarnya.


------------------------------------------------------------------------
Tiga Hari Kemudian


Hari Kamis ini suasana pesantren Miftahul Huda sangat ramai, memang setiap hari kamis sampai jum’at pagi, juga hari sabtu hingga Ahad pagi, rutin diselenggarakan dzikir dan tafakur bersama ratusan jama’ah, yang dipimpin oleh Pemimpin umum pesantren Miftahul Huda Bapak KH. Misbach Arifin. Para jama’ah satu-persatu datang dari berbagai pelosok untuk mengikuti dan mendengar taujih dari sang Kyai. Pada saat-saat seperti itu para pengurus pondok pesantren serta para santri putra dan putrinya menjadi tuan rumah yang sangat sibuk, sebagian mengatur acara, sebagian lain mengatur penempatan para tamu di di dalam dan di luar Masjid Al-Arifin Billah, ada juga yang mengatur kendaraan para tamu di pelataran parkir. Tidak ketinggalan para pedagang kecil turut berbaur di dalam kompleks pondok pesantren. Cuaca hari itupun amat ramahnya, tidak ada panas terik, tidak pula mendung hanya sinar siang yang menaungi lingkungan pondok pesantren itu menjadi teduh, angin sepoi-sepoi bertiup mengusap penghuninya. Lantunan nasyid dan ayat-ayat Al-Qur’an dari Audio system mengalun pada selain waktu-waktu shalat, mencerahkan hati yang mendengarnya, di “kota santri” ini semua larut dalam suasana yang penuh semangat sekaligus menentramkan hati.

Salima dan kawan-kawan santri putrinya tengah sibuk menyusun penganan dan kudapan ke dalam toples-toples, kue-kue basah ia letakkan di atas piring-piring lebar. Yang lain menyusun minuman mineral gelas bertumpuk rapih di ujung meja. Sambil mengatur makanan di meja besar di tengah lapangan rumput bertenda besar itu, para santri putri sesekali bercanda dan tertawa. Demikian pula Salima, hanya saja akhir-akhir ini ia sering menjadi sasaran godaan teman-temannya yang ternyata ada beberapa yang telah mengetahui bahwa Salima tidak lama lagi akan disunting pemuda paling simpatik, pintar dan cakap di seantero pesantren anak santri kesayangan Kyai Misbach yang bernama Dzulkifly. Salima tak mengerti entah darimana mereka mengetahui semua itu,apakah Dzul bercerita kepada teman-temannya yang kemudian menyebar beritanya, atau mungkin juga ada yang memergoki saat Ustadzah Aminah berkunjung ke kamar santri putri untuk menemuinya. Ah Salima bingung ,yang ada kini gadis itu sibuk menepis berondongan pertanyaan-pertanyaan dari teman dan sahabat-sahabatnya.

Salima masih sibuk memasukkan makanan ke dalam toples, saat Lastry sahabatnya mencolek-colek tangan Salima dengan sikunya.
“Sal….Sal”. Lastry memanggil nama sahabatnya dengan suara pelan. Salima menoleh :
”Ya…kenapa Las?”.Salima memperhatikan sahabatnya itu sementara tangannya tidak berhenti bekerja.
“Sal, lihat, siapa tuh yang berdiri di bawah menara, liatin kamu terus kayaknya hihihi”. Salima mengarahkan pandangannya ke tempat yang ditunjukkan Lastry, berdegup dada Salima saat nampak olehnya orang yang dimaksud oleh Lastry itu ternyata Dzul.

Dzul bersama seorang kawannya sesama pengurus di kantor Dewan Harian pesantrennya terlihat sedang mengatur posisi speaker di pelataran depan Masjid. Salima diam-diam memperhatikan lelaki yang telah terpaut hatinya oleh dirinya itu, namun sedang asyiknya ia mencuri pandang, dari kejauhan Dzul pun nampak sekali-kali memperhatikannya. Jika sudah begitu, Salima akan segera menundukkan wajahnya karena malu yang tak terkira tertangkap mata sedang memperhatikan.
“Hey…ada yang lagi degdeg plas niih…aaahahaha”. Lastry tiba-tiba berseru membuat teman-teman yang lain tertuju perhatiannya kepada mereka berdua :
”Iiiih apaan sih…”. Salima mendorong bahu Lastry dengan sikunya, merah pipinya tak bisa mengelak dari godaan teman-temannya.
“Eh sssstt….ada yang datang tuh, ayo kerja kerja…”. Lastry tiba-tiba berbicara setengah berbisik.
Rupanya mendekat ke arah kumpulan santri-santri putri itu, Dzul orang yang baru saja mereka bicarakan. Salima terkejut, tak mengira Dzul akan berani mendekat kepadanya dihadapan kawan-kawannya. Salima salah tingkah, hendak berpura-pura sibuk sudah tidak bisa karena kue-kue itu sudah masuk toples dan tersusun di piring semua. Berdebar jantung Salima saat Dzul benar-benar berada di hadapannya dan mengucapkan salam.
“Assalamu’alaikum ….”. Serempak kawan-kawan Salima menjawab salam dari Dzul, tentu saja sambil senyum-senyum sambil melirik ke arah Salima. “Waalaikum salaam warahmatullah wabarakatuh kak Dzul, huk huk ehm ehm”,

Lastry menjawab salam paling keras diantara semua dan mengakhirinya dengan pura-pura batuk dan berdehem. Dzul tersenyum melihat reaksi teman-teman Salima, ada yang senyum-senyum, ada yang cekikikan ada pula yang ekspresif memperhatikan. Namun Dzul menjadi iba tatkala dilihatnya Salima bak kucing diguyur air kebasahan, duduk di sudut tak tahu harus berbuat apa. Dzul lalu mendekat kepada Salima :
” Apa kabar Ukhty ? sedang sibuk rupanya, mengerjakan apa?”. Salima menatap Dzul sekilas lalu berkata:” Alhamdulilah……mmh ini Kak, menyusun penganan untuk tamu”

Salima berusaha keras untuk tersenyum ramah namun mengapa sekarang ia merasa kulit wajahnya dilumuri semen yang keras dan apa pula yang terjadi dengan telapak tangannya yang kini banjir berkeringat.

“Oo begitu ya, mm…nanti malam Ukhty Salima datang ke masjid ikut taujihnya Bapak Kyai?”.Dzul mencoba bertanya lagi,:” Insha Allah Kak, bersama teman-teman”. Salima menjawab, suaranya hampir tak terdengar namun Dzul bahagia bisa menyapa gadis itu. Dzul tak ingin membuat Salima terus gelisah, bagaimanapun ini percakapan mereka berdua untuk pertama kali sejak Dzul berkirim surat dan demi menjaga kesopanan,maka Dzul pun cepat-cepat berpamitan;
”Kalau begitu silahkan diteruskan, maaf sudah mengganggu ya”. Senyum tak lepas dari bibir Dzul, sedang teman-teman lain berpura-pura sibuk membereskan meja sambil mencuri-curi dengar percakapan Salima dan Dzul. Salima tersenyum dan menganggukan kepalanya kepada Dzul. Dzulpun mengucapkan salam kembali kepada santri-santri putri itu.

Seiring langkah kaki Dzul yang menjauh entah mengapa terasa ada yang tercabut dari hati Salima, ini berhadapan-hadapan muka yang pertama baginya dan Dzul :
”Tapi, kenapa cuma begitu saja ya” hati Salima bertanya-tanya, walau hatinya tak menentu ketika dekat, namun ia tak mengharapkan pertemuan yang secepat itu, ah Salima tak mengerti keinginannya sendiri. Diambilnya nampan, lalu mengajak Lastry ke dapur umum menjauh dari teman-teman yang tak berhenti menggodanya.


------------------------------------------------------------------------
Satu Minggu Kemudian


Penduduk desa Cikahuripan gempar, salah seorang pemuda penduduk desa itu ditangkap polisi berpakaian preman. Dari desas desus yang beredar dikabarkan bahwa pemuda itu ditangkap di rumahnya tengah malam. Entah apa sebabnya, orang tua pemilik rumah yang disergap itu kini telah pindah ke rumah kerabatnya. Dzul tak habis fikir, ia mengenal pemuda yang bernama Irwan itu seorang yang baik, bahkan Dzul tahu Irwan merupakan kawan dekat Amir juga. Ingatan Dzul kembali pada saat Amir mendatanginya tengah malam itu, adakah semua ini berhubungan?. Tetapi apakah hubungannya dengan buku-buku yang Amir suruh membakarnya ?. Dzul merasa khawatir dengan keberadaan Amir, tetapi sejak terakhir bertemu, Amir tak pernah berkirim berita lagi kepadanya. Dzul menghela nafas panjang seraya berdo’a di dalam hatinya :
”Allahumma, lindungilah Amir. Tuntunlah dia dengan petunjukMU. Lindungi pula orang tuanya, Bapak dan Ibu. Tabahkanlah hati mereka berdua. Ya Rabby, kembalikanlah sahabatku ini kepada kami dalam keadaan yang Engkau ridhai… Allahumma aamiin”. Diusapkannya tangannya pada wajahnya yang bersih sebersih hatinya yang tulus.


------------------------------------------------------------------------



Salima masih merapihkan pakaiannya yang telah disetrika, dimasukkannya satu persatu ke dalam lemarinya. Salima membereskan kamarnya itu sendiri, teman satu kamarnya Lastry masih sibuk di perpustakaan mencari beberapa data untuk keperluan tugasnya. Tiba-tiba seseorang mengetuk pintu kamarnya. Salima segera membenahi sprei tempat tidurnya dan merapihkan kerudungnya, dan bergerak membuka pintu kamarnya. Berdegup jantung Salima, ternyata yang datang adalah Ustadzahnya, Ibu Aminah, bibi dari Dzul yang tempo hari menyerahkan surat dari pemuda itu. Dengan gugup ia mencium tangan wanita berwibawa itu dan mempersilahkannya masuk, tangannya terasa bergetar saat menggelar tikar di lantai kamarnya yang sederhana, :
”Silahkan Ustadzah…”. Salima mempersilahkan Ibu Aminah duduk. Ibu Aminah tersenyum kepada Salima :
” O ya terima kasih, kamu sendirian nak? kemana temanmu?” Pertanyaan Ibu Aminah mencairkan suasana yang terasa kaku,:
”Oh, Lastry sedang ke Perpustakaan, Ustadzah. Suatu kehormatan untuk saya dikunjungi Ustadzah. Mmh, sebentar saya buatkan minum ya”. Salima hendak bangkit, tetapi tangan Ibu Aminah menahannya;
”Tidak usah nak, Ibu tidak akan lama hanya menyampaikan suatu amanah saja. Duduklah ”.

Baru pertama kali Salima mendengar Ustadzahnya ini memanggil dirinya sendiri ibu. Salima kembali duduk menghadap kepada ustadzah yang dihormati di pesantrennya ini walau hatinya tak menentu. Salima menundukkan wajahnya saat Ibu Aminah mulai berbicara:
” Anakku Salima, kau santriwati yang pintar dan shalehah di pesantren ini. Ibu senang dengan apa sudah kau capai dalam dua tahun ini. Orang tuamu pun tentu lebih bangga lagi bagaimana keadaan Bapak dan Ibumu nak?”. Salima tersenyum dan menjawab hati-hati, ia senang ustadzahnya itu menanyakan kabar Ayah dan Ibunya:”Alhamdulillah, Umy dan Aby baik-baik saja, tadi pagi saya sudah menelponnya Ustadzah”.
“ Ooo Alhamdulillaah, sampaikan salam Ibu untuk Umy dan Aby di rumah ya. Mm Salima, kedatangan Ibu ini sesungguhnya karena diminta oleh seseorang yang mengirimkan surat untukmu minggu yang lalu, Dzulkifly…..Dzul keponakan Ibu, tetapi dia bagai anak Ibu sendiri, Ibu tahu dia sejak kecil, pemuda yang baik, yang santun, yang shaleh. Ayahnya sudah meninggal waktu nak Dzul masih kecil usia 3 tahun”
Ibu Aminah menatap Salima sejenak, gadis itu hanya tertunduk saja mendengar setiap kata-katanya. Ibu Aminah pun melanjutkan ucapannya:
”Salima, Dzul sangat menghormatimu, oleh karena itu dia meminta Ibu menemuimu dan menanyakan bagaimana keadaanmu setelah membaca pesannya. Apakah Salima memahami maksudnya? Anakku, Dzul mempunyai niat ingin memperistrimu, dia meminta maaf jika ini terasa tiba-tiba, tapi dia mengatakan bahwa dia bersungguh-sungguh, apakah Salima menyetujuinya?”.

Salima diam, dia sungguh tak menduga, dari hari ke hari perkembangannya sedemikian cepat. “Memperistri ? Menikah ?” Salima bergumam dalam hatinya. Hatinya tak menentu membuat wajahnya semakin tertunduk, penghormatannya kepada Ustadzahnya ini membuatnya teramat malu untuk dapat berterus terang. Namun Ibu Aminah pun seorang wanita, yang dahulu pernah merasakan keadaan yang serupa, bahkan beliau memiliki anak wanita yang beberapa telah menikah sehingga amat memahami keadaan jiwa gadis itu saat ini. Dengan tangannya Ibu Aminah mengangkat pelan dagu gadis itu, ditatapnya wajah manis yang murni yang telah menjadi impian keponakannya .
“Salima, kau tidak perlu menjawabnya sekarang nak, Ibu hanya menyampaikan amanahnya saja. Sebaiknya kau fikirkan dahulu ya, Shalat Istikharah, ajak bicara orang tuamu, bulan depan mungkin nak Dzul sendiri yang akan menemuimu”.

Salima menatap wajah ibu Aminah,wajah yang teduh, membuat hatinya kembali tenang. Salima berkata:
” Baik Ustadzah, saya akan bicarakan ini kepada Ummy”. Setelah berbincang sedikit hal lain, Ibu Aminah pun berpamitan, dengan takdzim Salima mencium tangan ustadzahnya.


------------------------------------------------------------------------


Keesokan harinya, seperti biasa Dzul telah bersiap untuk pergi ke tempatnya bekerja, di meja makan telah terhidang sarapan paginya dan segelas teh pahit hangat. Ibunda Dzul muncul dari dapur membawakan sekaleng kerupuk kesukaan anaknya, seperti biasa senyum yang ramah selalu hadir di wajah ibu yang lembut ini:
”Dzuul, bagaimana…ada kabar apa dari bibimu semalam? Ibu sudah pengen cepet ketemu sama gadis itu, siapa namanya? Salma ya”.

Dzul tersenyum sambil menyelesaikan kunyahan di mulutnya ia meralat:
”Salima ibuu, bagus ya namanya”.

Dzul melanjutkan suapannya, lalu melirik ke arah ibunya, ia senang menggoda ibu yang disayanginya itu, Dzul tahu ibunya pasti sangat penasaran dengan pembicaraannya di telepon tadi malam dengan bibinya. Namun ia tidak tega membiarkan ibunya dalam kepenasaranannya, setelah meminum tehnya, Dzulpun bercerita apa pembicaraan dengan bibinya itu. Selesai menyantap sarapannya, Dzul pun berpamitan kepada ibunya, seteleh mencium tangannya - suatu kebiasaan yang hingga usianya yang ke 25 tahun ini tetap ia lakukan - Dzul menatap wajah orang tua yang dikasihinya itu:

”Ibu, do’akan Dzul berjodoh dengan Salima ya”. Ibunda Dzul menengadah menatap wajah putra satu-satunya ini, putra yang menemaninya selalu selama berpuluh tahun setelah suaminya meninggalkannya menghadap Sang Khaliq. Sambil mengusapkan tangannya yang telah berkeriput pada rambut Dzul, beliau berkata:

” Anak Yatimku, Allah mendengarkan harapan dan do’a-do’amu nak, tanpa diminta DIA sudah mengetahuinya, kita hanya disuruh menjalani saja dengan cara yang benar. Tentu saja Ibu selalu mendo’akanmu . Selagi Ibu masih ada, Ibu akan selalu mendo’akanmu. “Allahumma sally’alaa sayyidinaa Muhammad wa’ala aali sayyidina Muhammad, Allahumma irhamhuu … irhamhuu….irhamhuuu….Allaahumma aamiin”.

Dzulkifly damai hatinya dan matanya berkaca-kaca, mendengar Ibu yang melahirkannya berdo’a untuknya, seakan-akan seluruh pepohonan, daun-daun, rumput, awan dan burung-burung mengamininya turut memberi restu kepadanya.


------------------------------------------------------------------------


Selama sepuluh hari Martha dapat menikmati liburan di kampung halamannya, lusa ia harus berangkat lagi ke Cengkareng untuk “mengejar” penerbangan pagi. Namun roman mukanya tidak menampakkan keceriaan. Selama delapan hari berada di Cikahuripan ia merasa kecewa, tidak sekalipun Dzul menelponnya atau mengirim sms kepadanya, apalagi sampai datang bertandang ke rumahnya. Meski mereka berdua orang-orang “berpendidikan” tinggi, namun Martha menyadari Dzul bukanlah seperti pemuda kebanyakan yang ia kenal. Dzul seorang yang santun, memahami bagaimana menghormati orang lain, apalagi mereka seolah berdiri di dua pulau yang berbeda yang dinamakan ‘agama’ yang ditumbuhi banyak doktrin dan kredo yang berbeda, terpisah oleh lautan ‘keyakinan’ bak ombak ganas yang selalu menerjang, seolah tak akan memberi jalan bagi keduanya untuk dapat bertemu. Martha amat menyadari ini semua, itulah sebabnya ia tidak pernah berani bahkan dalam benaknya sekalipun untuk mendahului mengungkapkan perasaannya kepada Dzul, ia hanya menunggu dan menunggu “mu’jizat” itu datang. Hanya perhatian-perhatian kecil yang berani ia berikan kepada teman yang dikaguminya ini semisal memberi kado hadiah ulang tahun Dzul, mengirim kue-kue buatannya sendiri kepada ibunda Dzul, atau sekedar mengirim sms-sms ringan untuk menunjukkan perhatiannya. Entah apalagi yang harus Martha tunjukkan kepada Dzul, namun tetaplah sampai detik ini tak ada satu deringpun panggilan dari Dzul di hand-phone nya. Martha seorang yang dididik oleh ayahnya kehormatan diri dan penyerahan kepada Tuhannya. Selalulah Martha berdo’a baik saat kebaktian di gereja, saat menjelang tidur atau saat kapanpun dia merasakan kesedihan. Dia tak hendak larut dalam kekecewaannya dan mencoba selalu memaklumi apapun yang dialaminya. Ketabahan, adalah warisan paling berharga yang telah diajarkan orang tuanya. Martha memperhatikan sebuah potret ukuran postcard berbingkai di atas mejanya, foto itu selalu dibawanya kemanapun ia pergi. Di dalam foto itu terdapat gambar dirinya, Dzul dan ibunda Dzul yang diambil dalam sebuah kesempatan pernikahan seorang teman. Martha bergumam dagunya ia letakkan diatas punggung tangannya yang bersandar di meja :
”Dzul, apakah kamu tak bisa mengerti perasaanku sedikit saja. Kamu nggak pernah tahu betapa menderitanya aku setiap dekat denganmu tanpa bisa yakin bisa memilikimu. Hhhh…….”

Martha seakan mengajak berbicara gambar dalam foto itu, ia menghela nafas panjang seolah ada beban berat dipunggungnya yang ingin dilepaskannya. Masa liburan tinggal 2 hari lagi, Martha mulai membereskan beberapa buku yang ia bawa dari London ke dalam kopernya, bagaimanapun tugas-tugas kuliah itu tak bisa menunggunya mendapatkan cinta Dzul.


-------------------------------------------------------------------------


Dzul baru tiba di rumah sekitar pukul 9 malam, ia menaruh motornya di teras samping rumahnya yang rimbun dengan tanaman menjalar. Saat membuka pintu rumah dilihatnya Ibunya dengan kacamata menempel di hidung beliau, tengah duduk di kursi ruang tamu sedang menisik, menambal sarung bantalnya. Dzul mengucapkan salam dan menghampiri ibundanya, merunduk lalu mencium tangannya :
”Assalaamu’alaykum, koq Ibu belum tidur? Kenapa sarung bantalnya bu? Robek ya”. Ibunda Dzul tersenyum dan terus melanjutkan pekerjaannya :
” yaa, tadi siang Ibu belum sempat, ada tamu kemari nyari kamu Dzul, katanya teman waktu nyantri di pesantren dulu, siapa ya namanya…??” Ibunda Dzul mencoba mengingat-ingat:
”ooh Bahrudin…apa ya… mungkin Baharudin nak, Ibu bilang kamu di kantor. Tuh dilemari makan ada ikan goreng sama sambal, kamu udah makan belum nak?”

Ibunda Dzul matanya terus meneliti kain sarung yang sedang ditambalnya. Dzul tercenung, “Baharudin ?” tadi siang sekitar jam 2, Baharudin temannya itu memang datang “main” ke kantornya, tapi dia tidak ada menyebut telah mencarinya terlebih dahulu ke rumahnya. Dzul melangkah ke kamarnya dan menjawab pertanyaan ibunya:” ya Bu, nanti saya makan, mau mandi dulu.Dzul bergegas ke masuk ke kamarnya.


Pukul 11 malam, Dzul masih duduk bersila di atas sajadahnya sehabis melaksanakan shalat witir. Benaknya terus berputar mengingat pembicaraannya dengan Baharudin tadi sore di kantornya. Baharudin adalah kawannya dan kawan Amir juga sejak masih menimba ilmu di pesantren dulu. Dzul mengingat lagi pembicaraannya dengan Baharudin di kantornya. Dalam suasana hangat mereka berdua asyik berbincang, :
”Jadi kapan antum ketemu Amir Dzul?” tanya Baharudin.

Dzul mencoba berfikir cepat untuk menjawab pertanyaan ini, banyak hal yang misterius dengan Amir sekarang, membuatnya harus berhati-hati menjawab pertanyaan orang-orang yang mengarah pada hubungannya dengan Amir :
” wah sudah jarang sekali, nggak tau kemana dia, makin sibuk saja rupanya akhi kita satu itu”.

Baharudin terdiam lalu berkata lagi:
” Yaa, memang sudah tugas kita untuk sibuk kan? Sibuk ibadah maksud ane. Cuma ibadah yang bagaimana dulu”. Dzul tertarik dengan kata-kata Baharudin itu lalu bertanya :
” Jadi sibuk ibadah yang gimana nih harusnya akhy?”.

Baharudin tidak menjawab pertanyaan Dzul, dia hanya tersenyum sambil menghirup kopi panasnya, lagipula itu bukan pertanyaan yang harus dijawabnya, sebagai sesama anak didik K.H. Misbach Maulana Arifin, pemimpin umum Pesantren Miftahul Huda, Baharudin tahu Dzul tidak perlu diajari lagi pemahaman-pemahaman seperti itu. Namun Wajah Baharudin nampak berubah lebih serius sekarang, ia menggeser duduknya dan berbicara lebih pelan dari sebelumnya :
” Dzul, apakah buku-buku milik Amir sudah kau bakar?”.

Dzul terkejut, ia menatap Baharudin, tak mengerti bagaimana ia tahu tentang hal itu sedang tadi dia bersikap seperti sudah lama tak berkomunikasi dengan Amir.Baharudin menanyakan perkara buku milik Amir itu, rupanya ia mengetahui hal itu . Apakah Baharudin mempunyai urusan yang sama dengan Amir ?.Dzul mengangkat alisnya, mencoba menyusun kata-kata sewajar mungkin, ia teringat tidak semua buku milik Amir yang ia bakar sesuai permintaannya, ada beberapa dokumen yang ia penasaran ingin membacanya maka ia simpan rapat di lemarinya dan sudah dibacanya lalu Dzulpun berkata :
”ya tentu saja saya bakar Bahar, tapi Bahar ada apa ini sebenarnya ? Dimana Amir ?”.

Dzul menyemprot Baharudin dengan pertanyaannya. Baharudin kembali berbicara dengan suara yang terkesan sangat hati-hati :
”Dzul, dia percaya sekali pada antum, dan jaga ini tetap tertutup suatu saat dia akan menjelaskan. Tapi sedikit saja yang ingin ana sampaikan akhy, apa yang sedang kita bicarakan ini urusan besar, urusan menyangkut cita-cita besar. Ini ibadah yang ana maksud kawan, kalau saudaramu memintamu menyimpan rahasianya, maka simpanlah, ini demi keselamatannya ”.

Dzul menarik nafas dalam-dalam, ditenangkannya hatinya sambil berdzikir, ia sudah mengira semua ini adalah mata rantai dari sesuatu yang masih misteri baginya. Dzul pun lalu bertanya :
” Apakah penangkapan Irwan tempo hari ada hubungannya dengan ini semua Bahar ?”.

Dzul menatap mata Bahar dalam-dalam, mencoba menerka-nerka jawaban temannya ini yang ternyata merupakan teman satu kelompok dengan Amir dan Irwan. Baharudin balas menatap Dzul, lalu ia berkata:
” Dzul antum lebih memahami, segala pilihan itu ada resikonya dan “resiko” dari perjuangan ini adalah Syurga walaupun semua orang mencemooh. Kerusakan di negeri ini sudah sangat parah Dzul, sudah hancur aqidah dan moral di mana-mana, bencana sudah begitu rupa Allah turunkan dan orang-orang kafir, fasik, dzalim itu semakin bebas dan seenaknya saja berkeliaran. Kalau antum sedikit saja membantu perjuangan karena Allah ini, kau sudah berdiri di jalanNYA ,membela agamaNYA, Syurga balasannya akhy ?”.

Baharudin memberi tekanan pada kata terakhirnya. Dzul mencoba tetap tenang dan menjaga kata-katanya agar tidak menyinggung atau disalah fahami temannya itu :
”Bahar, ana tidak mempermasalahkan kewajiban membela Agama Allah. Tapi ada sedikit pertanyaan saja , bagaimana bisa antum memastikan mereka-mereka yang antum sebutkan itu adalah Kafir, Fasik, Dzalim ? Sebutan-sebutan itu kan ada konsekuensi hukumnya buat kita dalam bermu’amalah dengan mereka Akhy ?”

Dzul mencoba membangun sebuah diskusi. Baharudin menatap Dzul lalu ia mengutip sebuah ayat bahwa barangsiapa tidak memutuskan menurut apa yang diperintahkan Allah maka ia telah fasik, dzalim bahkan kafir (Q.S Al-Ma’idah 44, 45,47).

Dzul langsung menggunakan ayat yang sama,ia berkata:” Jika demikian apakah antum atau pemimpin-pemimpin kelompok itu memutuskan menurut perintah Allah juga untuk mendakwa mereka itu fasik/dzalim/kafir walaupun sama telah mengucap Laailaahaillallah ? Apakah mereka itu perlu dianggap musuh walaupun mereka shalat,zakat,berpuasa dan berhaji hanya karena tidak mengikuti kelompokmu?

Baharudin nampak ingin menyela, namun Dzul meneruskan kata-katanya.
“Bahar, kita sesama saudara satu aqidah -terlepas dari apakah sudah sempurna aqidahnya atau tidak- apakah hanya karena tidak satu kelompok/ haraqah atau tidak seguru seilmu dengan kita, maka mereka layak kita nilai / sebut orang-orang fasiq, orang-orang dzalim, bahkan kafir? Sedang diantara mereka bisa jadi lebih bersih imannya, lebih tulus, lebih baik ibadahnya ? Yang seperti ini besar konsekuensinya akhy, banyak penderitaan ditanggung umat ini, banyak pertumpahan darah antar sesama saudara seaqidah akibat dari sikap-sikap ekstrim ini. Ingat peristiwa Usamah radiallahu anhu Bahar? Beliau dimarahi Rasulullah dalam perang Khaibar telah membunuh seorang musuh yang memelas tak ingin dibunuh oleh Usamah, padahal dalam peperangan membunuh atau terbunuh itu adalah sebuah konsekuensi kan?, lalu ia mengucapkan kalimah syahadah di depan Usamah, tapi Usamah tak mempercayai ketulusannya lalu dibunuhnya ia. Kau tahu Bahar sejarah itu ?, Rasulullah murka kepada Usamah. Ini kata-kata Rasululah saw
“APAKAH TELAH ENGKAU BELAH DADANYA LALU ENGKAU LIHAT ISI HATINYA ? bahwa musuh itu tidak bersungguh-sungguh syahadatnya hanya taktik saja agar selamat dari pedang Usamah?. Ini menunjukkan betapa beratnya urusan klaim iman, kafir, fasik dan dzalim itu, bukan hak kita. Kita di dunia ini hanya sebagai saksi saja, seorang saksi tidak punya hak untuk menghakimi siapapun. Bagaimana menurutmu Bahar, sedang banyak orang-orang yang tidak satu pemahaman atau satu kelompok dengan kita itu bisa jadi Ibu kita sendiri, yang sudah melahirkan, membesarkan kita. Atau ayah kita, family kita, ustadz-ustadzah kita, tetangga-tetangga muslim kita. Itu sebabnya, gelar-gelar fasik,dzalim, kafir itu ana bilang ada konsekuensi hukumnya. Sabda Rasulullah saw, JADILAH KALIAN HAMBA-HAMBA ALLAH YANG BERSAUDARA, sesungguhnya muslim itu haram darahnya, haram hartanya, haram kehormatannya bagi muslim lainnya. Maaf Bahar, itu hanya pandangan pribadi ana sendiri.”

Baharudin diam tak menjawab sepatah katapun tetapi ia menatap Dzul, meneguk sedikit air minumnya lalu berkata:
” Ciri-ciri itu sudah jelas dalam Al-Qur’an akhy, firman Allah, apa kau mau membantahnya? Dimana posisi antum? Ana kemari sebetulnya hanya amanat Amir saja, apa yang Amir katakan tentangmu ternyata berbeda dalam pandanganku. Ana kira antum bersama kami. Baiklah, ana hanya ingin memastikan apakah amanat Amir masih tetap aman ditangan antum? Karena jika tidak pasti akan ada konsekuensinya”. Baharudin menatapnya tajam, Dzul merasakan nada yang aneh dalam suara Baharudin. Kemudian Dzul berkata:
” Tenanglah akhy, bagi ana Amir tetaplah saudaraku karena Allah, apa yang dia amanatkan untuk membakar buku-buku itu saya sudah lakukan”. Dzul mencoba tetap tenang dan berjanji dalam hatinya bahwa ia akan membakar buku-buku Amir yang tersisa.


Dzul melihat jam di mejanya, sudah tengah malam rupanya ia menolehkan kepalanya, menatap lemari baju yang didalamnya terdapat beberapa tulisan-tulisan Amir. Ia berencana akan membakar semuanya besok pagi dan tak hendak mengetahui lagi apa penyebabnya. Kini Dzul teringat nasehat-nasehat Kyainya di pesantren, salah satunya adalah:
” Potensi terbesar dari Syaithan untuk menggelincirkan manusia itu adalah manakala manusia sudah berani ’Ngaku’, ngaku Ada (padahal yang Maha Ada itu hanya Tuhan karena asalnya kita makhluk ini memang tidak ada dan yang kekal abadi keberadaannya itu hanya Tuhan), Ngaku Punya (tidak sadar bahwa segala yang dia “genggam”dalam kehidupannya itu cuma milik dan titipan Tuhan), ngaku Pintar sendiri (merasa memang sudah bakatnya pintar/pandai), ngaku Benar sendiri (bahwa dirinya/kelompoknya berada di tempat yang paling benar sedang yang lain salah).
Miris hati Dzul, berawal dari berani “ngaku” inilah kata sang guru, bisa disaksikan banyak orang berkelompok-kelompok sesuai dengan pemahaman dan keyakinannya, setiap kelompok menyatakan dirinya di atas kebenaran, lalu satu sama lain saling menyakiti dan memerangi tanpa haq. Mengambil beberapa Nash Al-Qur’an maupun Hadist untuk melegalkan beberapa perbuatan yang justru dilarang agama. Pada akhirnya berujung kepada masalah kekuasaan. Sudah lupa kepada tujuan bertauhid yaitu menjadikan Allah sebagai satu-satunya tujuan segala perbuatan, yang disembah, yang dicintai, yang diingat-ingat agar masing-masing diri bisa “pulang” kembali bertemu dengan Allah “sendiri” yang oleh sebab itu disebut Islam (selamat). Dzul menyungkur sujud merendahkan diri dihadapan Rabbul Izzaty seraya menghiba:
”Alaahumma, kasihanilah kami umat RasulMU ini, yang telah tertipu hijab dunia. Ya Rabb, jangan Engkau biarkan kami terpecah belah, menjadi mangsa empuk musuh yang sesungguhnya. Persatukanlah kami di dalam agama keselamatan ini dalam mahabbah kepadaMU. Tunjukanlah bagiku dan ahliku yang benar itu benar dan kokohkanlah hamba di dalam kebenaran itu, dan tunjukkanlah bagi hamba yang salah itu salah, dan jauhkanlah hamba sejauh-jauhnya, dan sampailkanlah hamba kepadaMU wahai yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. Dzul bangkit dari sajadahnya, menyetel jam bekernya lalu beranjak tidur..

------------------------------------------------------------------------


Waktu terus berjalan tanpa akan kembali lagi. Tiga bulan setelah lamarannya kepada Salima melalui surat diterima, Dzul dan Salima merasakan kebahagiaan tak terkira. Di dalam Pesantren tempat mereka bertemu dan jatuh cinta, di hadapan guru, orang tua dan kawan-kawannya sebagai saksi, Dzul dan Salima resmi mengikat tali pernikahan, Mitsaqan Ghaliza ikatan yang kokoh dengan niat yang suci melaksanakan ibadah kepada Illahi dalam ikatan rumah tangga yang diberkahi.Dzul dan Salima melaksanakan akad nikahnya di masjid Al-Arifin Billah yang dipenuhi kawan-kawan dan kerabat mereka, suasana pesantren sangat ramai, umbul-umbul yang dibuat dari janur oleh santri-santri putra dipancangkan di berbagai sudut kawasan pesantren.
Lantunan nasyid-nasyid ceria bertemakan pernikahan menggema, berpot-pot tanaman hias yang dipelihara para santri di pajang menambah segar suasana. Begitupun kursi-kursi dan tenda-tenda besar disiapkan untuk para tamu,karena bagaimanapun Dzul adalah orang yang cukup penting di pesantren itu serta banyak koleganya yang ingin turut merayakan kebahagiaannya. Semua turut bergembira dengan pernikahan kedua “Bintang dan “Bulan” Miftahul Huda itu, serta turut mendo’akan untuk kebahagiaan mereka. Salima dan Dzul untuk pertama kalinya saling memandang satu sama lain tanpa ada kecanggungan lagi, dan saling memberikan senyum yang paling manis, diam-diam dalam hati keduanya sama-sama mengucap syukur, telah Allah berikan “Hadiah” yang terindah.
Dalam satu kesempatan berdua, Dzul mengambil tangan istrinya dan berkata ;”Adik Salima, terima kasih telah berkenan menggenapi sayapku, mulai hari ini kita sama-sama “berjalan ke Syurga” ya”. Salima menatap mata suaminya dalam-dalam, tiada kata yang terucap dari bibirnya hanya mata yang berkaca-kaca dan anggukan kepalanya.
“Baarokallohulaka wabaroka ‘alaika wajama’a bainakumaa fiikhoir…Semoga Alloh memberi berkah kepadamu berdua baik dalam senang maupun susah dan mengumpulkan kalian berdua di dalam kebaikan”
Kebahagiaan kedua insan itu disaksikan banyak orang dari desa Cikahuripan dan begitu pula Martha, namun ia tetap tak dapat merayakan kebahagiaan mereka itu,  bermil-mil jauhnya dari tempat pernikahan mereka Martha bahkan ingin terbang sejauh-jauhnya ke ruang angkasa atau menyelam sedalam-dalamnya ke bawah samudra,agar ia tak bisa mendengar "suara ramainya" pernikahan Dzul dan Salima.
Di hari pernikahan Dzul dan Salima, Martha tengah mengasingkan dirinya di Apsley House, salah satu istana dari Duke of Wellington yang kini telah menjadi Museum dan Art Galerry di London. Martha berusaha mengumpulkan kepingan-kepingan hatinya yang terserak saat mendengar kabar pernikahan sahabatnya dengan Salima. Kasih tak sampai, namun Martha akan tetap bertahan untuk bangkit kembali membangun cita-citanya dan demi kebahagiaan ayahnya. Martha berjalan menyusuri lorong museum itu, saat tiba-tiba terdengar suara seseorang memanggilnya. “Martha…!" , nampak dari kejauhan kawannya yang bernama Thelma melambaikan tangannya, Martha mengusap air mata di pipinya "Thelma..." kemudian berlari ke arah Thelma, seakan-akan ingin meninggalkan bekas lukanya yang tertinggal di kampung halamannya.


------------------------------------------------------------------------


Lima Bulan Kemudian

Hari itu hari yang kelabu bagi Dzul, telah datang kabar duka dari rumah yang dulu sering dikunjunginya, yang pernah menjadi tempat bermainnya bersama Amir dan Martha. Ayahanda Amir meninggal dunia, sakit paru-parunya yang lama diderita telah mengantarkannya kepada sang Pencipta. Dahulu ayahanda Amir sering mengajak mereka bertiga berjalan ke atas bukit, menerbangkan layang-layang atau membuat benda-benda lucu terbuat dari batang-batang teh. Sambil menemani mereka bertiga bermain, ayah Amir bekerja memetik teh milik perusahaan. Dahulu, Dzul sering berkhayal, ayah Amir adalah Ayahandanya sendiri karena dia sudah tak memilikinya lagi sejak usianya yang ke tiga tahun. Betapa pedih hati Dzul, saat masuk ke liang lahat itu bersama beberapa laki-laki yang lain hendak meletakkan jenazah laki-laki yang walaupun bukan orang tuanya namun amat ia kasihi, diterimanya jasad itu hati-hati dengan tangannya lalu dengan hati-hati diletakkannya di liang lahat, menghadapkan jasad itu ke arah kiblat. Dzul sendiri yang mengumandangkan adzan di kuburnya walau parau suaranya ditelan kesedihan, lalu Dzul menutup kembali kuburnya dengan tanah dan rangkaian bunga sebagai penghormatan terakhirnya. Dicari-carinya wajah Amir sang putra, namun Dzul tak menemukannya. Hanya sosok wanita tua yang terkulai lemas dipapah keponakannya, dialah Ibunda Amir, mengantar kepergian suaminya tanpa kehadiran anak kandungnya yang telah mereka rawat sejak kecil namun kini tiada kabar beritanya.

Maha Suci Allah yang Maha Agung, tidaklah Allah menciptakan segala kejadian dengan sia-sia. Bagi Dzul semua peristiwa memiliki makna besar bagi orang-orang yang “memperhatikan”. Ia menghampiri Salima yang kini tengah mengandung calon putranya di dalam rahimnya, digenggamnya jemari istrinya dalam-dalam seolah tak ingin lepas lagi, mereka berdua menyusuri tanah makam itu beriringan dengan yang lain, Dzul berjanji di dalam hati akan menjaga diri dan keluarganya dari hebatnya nafsu dunia dan gangguan syaithan yang ingin menghancurkan dan menggagalkan perjalanan sucinya menuju kepada yang Maha Besar yang Allah asmaNYA.

Desa Cikahuripan kini sedang diselimuti halimun, demikian pula hati Dzul, namun semoga halimun itu akan segera berganti dengan cerahnya sinar Mentari yang diberkahi, Allaahumma aamiin

Laahaula wa laa quwwata illa billahil ‘aliyyil ‘adziim
------------------------------------------------------------------------


Dirampungkan penulisannya pada 25 February 2010, di Bogor

Tidak ada komentar: