This foto belong to AFSP Central Florida

Rabu, 31 Maret 2010

Mewaspadai "Penyakit Persepsi" by Roni Djamaleodin

Dari http://ronijamal.com/mewaspadai-penyakit-persepsi. Semoga tulisan ini menambah nilai ibadah beliau di sisi Allah karena sangat berbobot isinya.Insha Allah


Nampaknya tak pernah disadari—apalagi ditafakuri secara mendalam—bahwa dalam kehidupan bermasyarakat ada sebuah kebiasaan yang “sebenarnya” tidak baik, tetapi justru (seolah-olah) dijadikan sebuah budaya yang “layak” dilestarikan. Bahkan, ia sebenarnya dilarang oleh syareat Islam. Kebiasaan tersebut adalah “kecenderungan melihat lebih dahulu siapa yang bicara, dari pada melihat isi pembicaraannya”.


Yang memprihatinkan, kebiasaan ini dilakukan oleh hampir semua lapisan masyarakat. Apakah golongan mereka yang berpendidikan ataukah tidak. Lapisan intelek cendekia maupun yang etos pikirnya biasa/rendah. Singkatnya, mayoritas masyarakat terjangkit virus “penyakit persepsi”.
Bukti jelasnya, terjadinya perbedaan perlakuan dalam menyikapi isi perkataan seseorang maupun pada si pembicaranya. Tidak jarang tutur kata yang “baik”, tetapi keluar dari mulut orang biasa, maka diremehkanlah tutur kata tersebut. Sebaliknya, nasehat “tidak baik” yang terlahir dari orang yang dianggap mulia, terhormat, apalagi berkharisma, maka diperjuangkanlah nasehat tersebut dengan penuh pengorbanan. Bahkan sampai mati pun dihadapi dan diperjuangkan.


Kebiasaan ini kalau dibiarkan berlanjut, dapat memperparah endemi “penyakit persepsi” yang selama ini ada. Menyuburkan sikap diskriminatif satu sama lain, karena cenderung melihat kelebihan (kemampuan) seseorang (mungkin juga kelompoknya) dan memandang remeh yang kebetulan tidak punya kelebihan. Bisa menimbulkan faham-faham baru yang pada saatnya nanti bisa berubah menjadi “bom waktu”. Pada gilirannya, dapat merongrong nilai-nilai kebenaran, yang notabene satu-satunya pemiliknya adalah Tuhan sendiri (Al Haq min Rabbika).


Teorema “Undhur”


Larangan melihat siapa yang berbicara, adalah sabda Nabi SAW: undhur maa qaala walaa tandhur man qaala, lihat/dengarkan apa yang dikatakan dan jangan melihat siapa yang bicara. Larangan ini bila dicermati secara mendalam, nampak ada sesuatu yang “irrasional”. Yaitu tidak boleh memandang situasi dan kondisi fisik lahiriah si penyampai. Semisal kedudukan, pengalaman, gelar, pangkat, kharisma, ketenaran maupun status sosial. Padahal logikanya, fatwa seorang ulama besar—apalagi telah bergelar kyai-profesor-doktor—tentu lebih kredibel dan akurat di banding fatwa orang yang tidak pernah sekolah. Bukankah hal seperti ini (dalam kacamata logika) merupakan sesuatu yang sangat irrasional (tidak masuk akal)?


Disinilah rupanya letak rahasia kalimat-Nya, Al Haq min Rabbika, bahwa kebenaran itu mutlak milik/dari Tuhan semata. Ia digenggam sendiri oleh-Nya. Sedang dalam diri manusia, hakekatnya tidak ada kebenarannya. Malahan sebaliknya, tempatnya salah dan dosa (makanul khatha’ wa nisyan), kejam lagi bodoh (zaluman jahula), perbuatannya melebihi batas. Maka menjadi logis kiranya bila larangan melihat wujud fisik si penyampai ini diberlakukan kepada semua manusia tanpa kecuali.


Sebaliknya, karena kebenaran tersebut digenggam sendiri oleh-Nya, sedang secara substansi (secara wujud) Dia tidak akan menampakkan diri di hadapan manusia, maka menjadi kuasa-Nya pula bila kemudian merealisasikan/menampakkan kebenaran tersebut melalui fisik lahiriah hamba. Tentu saja bukan sembarang hamba yang Dia “titipi” kebenaran, melainkan mereka yang benar-benar Dia pilih sendiri. Contoh nyatanya penampakan lahiriah Nabi SAW sendiri. Beliau tidak pernah mengenyam pendidikan di bangku sekolah (TK pun belum pernah). Apalagi pengalaman lain semisal kepemimpinan, keorganisasian, menejemen dan lain sebagainya. Tetapi nyatanya melalui fisik beliau-lah kebenaran-Nya diturunkan. (Oleh karenanya, sangat logis sekali bila keberadaan beliau kemudian ditentang oleh para tokoh dan ahli kitab di waktu itu).


Oleh karenanya, bagaimanapun, kebenaran itu tetap mutlak menjadi milik-Nya. Ia tetap digenggam sendiri oleh-Nya. Kita sebagai hamba harus mampu menangkapnya. Namun, untuk bisa menangkap substansi kebenarannya, diperlukan kerja sama yang sinergis antara akal sebagai prosesor utama dan hati nurani sebagai sang maharaja. Keduanya harus bisa berjalan secara bersama, sebagai “team work” yang solid.


Nilai Rasional dan Siliring Qudrat


Menyikapi fenomena di atas, hal mendasar yang sangat penting dan seharusnya diprioritaskan adalah bagaimana membawa diri menyadari dengan sesadar sadarnya bahwa manusia itu tempatnya salah dan dosa. Zaluman jahula (kejam lagi bodoh). Menyadari pula bahwa bagaimanapun hebatnya kemampuan hamba ini, tetap saja tempatnya salah dan dosa. Sedangkan yang sebenarnya hebat adalah Yang Maha Sempurna.
Sebab, bila “alam sadar” yang demikian telah terbuka, tentu akan memandang sama terhadap mereka-mereka yang kebetulan mempunyai nilai “lebih” dan yang kebetulan tidak mempunyai kelebihan. Setidaknya, tidak terlalu berlebihan dalam menyikapi (membedakan) keduanya. Yang seharusnya dipandang adalah nilai “rasional” dan nilai “siliring qudrat”-nya.


Kebenaran itu (yang datang dari Tuhan) dimanapun tempat dan asalnya pasti rasional. Dapat ditangkap oleh akal pikiran sehat. Sejalan dengan “agama itu sesuai dengan akal pikiran sehat”. Ia bisa terlahir oleh siapa pun dan dari manapun. Sedang siliring qudrat adalah “butiran ikhlas”. Yaitu perbuatan maupun tutur kata yang “tidak diaku” sebagai hasil perbuatan dan tutur katanya. Ikhlas, bersih, semata-mata karena Tuhan oleh Tuhan dan untuk Tuhan. “Sumende” (bersandar) pada ke-Mahakuasa-an Tuhan.

Ini yang harus ditekankan oleh setiap orang yang punya potensi “bicara”. Demikian halnya mereka yang punya kemampuan (kelebihan) yang kemudian diakses orang banyak. Ia harus menekankan (baik pada dirinya sendiri maupun pendengar/ pembacanya) bahwa kebenaran itu milik Tuhan semata. Sedang pada diri “saya” adalah tempatnya salah dan dosa. Sehingga, apapun yang saya tutur/sampaikan, sangat mungkin ada salah dosanya. Andai ada “nilai” kebenarannya, ia datang dan milik Tuhan semata. Bukan dari/milik saya, walaupun terlahir dari saya. Sebaliknya bila ada salahnya, ia adalah datang dan milik saya sepenuhnya.


Kemudian bila ternyata oleh Tuhan diberi kelebihan tertentu, menjadi “dai kondang” misalnya, harus berusaha untuk bisa merasa dan mengakui bahwa dirinya pun tempatnya salah dan dosa. Tidak merasa mempunyai kelebihan sedikitpun, tidak mempunyai keistimewaan apapun. Ini yang harus diperangi (jihadunnafsi) dengan semangat jihad yang sesungguhnya, serta berusaha keras untuk membumikannya dalam dada (hati nurani, roh, dan rasa). Walaupun orang lain mengakui dirinya hebat dan istimewa, tetap saja harus mengakui tempatnya salah dan dosa.


Dirinya hanya “sak derma” (sekedar) menjalani apa yang telah digariskan Tuhan kepadanya. Lir kadya godong asem sing kumampul ing sak tengahing samudra (bagaikan daun asam yang terombang-ambing di atas gelombang samudera). Bukan daun asamnya yang bisa bergerak kesana kemari (apalagi merasa mempunyai nilai lebih), melainkan karena semata-mata “katut” (mengikut) gelombang samudra Yang Maha Kuasa. “Nyelup” (menyelam) dalam ke kedalaman makna kalimah laa haula walaa quwwata illa billah.
Sebaliknya, bagi yang kebetulan sebagai pendengar/pembaca, juga harus menyadari bahwa sehebat apapun kemampuan manusia dalam bertutur kata, tetap saja harus diyakini tempatnya salah dan dosa. Kebenaran tetaplah menjadi milik-Nya. Ia dapat terlahir oleh dan melalui siapapun. Melalui orang hebat bisa, melalui orang yang tidak pernah sekolah pun bisa juga. Jangan mudah terjebak oleh kehebatan penyampainya. Sebagaimana pepatah timur tengah “yang benar akan selalu benar walaupun tidak seorang pun melakukannya, yang salah tetap salah walaupun semua orang melakukannya”.
Jadi, sebagai pendengar/pembaca setia pun harus punya “filter-pemikiran” yang baik. Jangan hanya karena difatwakan oleh ulama “se dunia” misalnya, lantas meng-”iya”-kan (membenarkan) begitu saja. Harus didahului oleh pemikiran yang mendalam. Otak dan akal pikiran harus bekerja keras semaksimal mungkin sebelum akhirnya memutuskan menerima/menolaknya. Demikian halnya ketika yang memberi saran masukan kebetulan anak kecil (tidak pernah sekolah), harus dilakukan pemikiran serupa sebelum akhirnya memutuskan. Ingat, keputusan apapun yang akan diambil, diri sendirilah yang nantinya bertanggung jawab sepenuhnya. Bukannya ulama/ dai-kondang/ tokoh-hebat/anak kecil yang diikuti fatwanya.


Capailah jiwa—berikut pemikirannya—yang merdeka sejati  sepenuhnya. Jangan mudah terjebak oleh kehebatan si “tukang kata” apalagi retorikanya. Sebab, bila nasi sudah menjadi bubur, tidak akan pernah bisa kembali pada wujud asalnya.


Kebiasaan “buruk” melihat siapa yang berbicara, secara perlahan harus dikikis habis. Jangan terbiasa melihat fisik lahiriah penyampainya. Cermati nilai-nilai kebenarannya. Adakah disana kebenaran yang sejalan dengan kehendak-Nya atau kebenaran yang sejalan dengan kehendak penyampainya. Sebab, kebenaran yang datang dari manusianya, belum tentu sejalan dengan kebenaran milik-Nya. Sedang kebenaran milik/dari-Nya, logikanya, pasti sejalan dengan pemikiran sehat manusia.


Sabtu, 27 Maret 2010

Ada Seribu Masjid



Ada Seribu Masjid...
Yang tidak di Utara, tidak pula di Selatan
Tidak di Timur, maupun di Baratnya
Namun ia pun bukanlah khayalan
Tidak berada di negeri Awan
Bukan pula di pulau angan-angan


Ada seribu Masjid...
Masjid itu terkadang suram lampunya
Terkadang Silau bercahaya
Pelitanya bukan dari lilin
Bukan pula dari lampu bertenaga listrik
Ia dinyalakan oleh pemiliknya, sekehendaknya


Ada seribu Masjid...
Selalu berpindah-pindah tempatnya
Terkadang di kota lautan lampu dan keramaian
Terkadang di puncak tinggi berbalut sepi dan kedamaian
kadang berada di lautan yang ganas ombaknya
Kadang di danau yang tenang airnya


Ada seribu Masjid...
Tidak tetap keadaannya
Bisa jadi kotor berdebu
Bisa jadi pula bersih mengkilap
Bisa jadi pengap dan panas
Bisa pula dingin dan menyejukkan


Ada Seribu Masjid...
Yang dimiliki semua hamba Tuhan
Beraneka macam suara Adzannya
Ada yang menyeru kepada kesenangan hawa nafsu pemiliknya
Ada yang menyeru kepada kesulitan hawa nafsu pemiliknya
Terdengar saling bersahutan di langit jagadnya

Ada Seribu Masjid...
Yang tak menentu apa yang dibicarakan jama'ahnya
Terkadang bergaung seperti lebah
Membacakan Al-Qur'an dan Mendzikiri Tuhannya
Terkadang bising memekakan
Membicarakan perdagangan dunianya



Kini...
Kucari sebuah Masjid...
Yang tidak berubah keadaannya
Selalu bercahaya sinar lampunya
Tidak pernah berkurang kemilau Nurnya


Kucari Sebuah Masjid...
Yang tidak berpindah-pindah tempatnya
Selalu berada di ketenangan rasa
Senantiasa bernaung di keteduhan Dzikir


Kucari sebuah Masjid...
Yang Tidak kusam ditelan kekotoran zaman
Selalu dingin disirami mata air taubat
Jendelanya berkilau menembus cakrawala ma'rifat


Kucari sebuah Masjid...
Yang berkumandang adzannya ke segala penjuru langit
Senantiasa menyerukan Kalam Allah
Menyeret hawa nafsu yang keberatan

Kucari sebuah Masjid...
Yang makmur setiap hari di sepanjang malam
Yang digembirakan dengan kunjungan jama'ahnya
Memenuhi segenap sudutnya dengan membesarkan Allah Azza wa Jalla


Dimanakah Masjid itu...?
Mungkin dia berada di dalam dadamu
Mungkin dia bersemayam di dalam Hatimu...


Link Foto: - warta-pomosda.blogspot.com/2009
- http://meetabied.wordpress.com/2009/11/28/simbol-hati-merah-jambu-2/

Kamis, 25 Maret 2010

Akhirnya Rahma senyum lagi, Alhamdulillah


 

 


 

Setelah tiga hari tiga malam tidak enak tidur karena diare, akhirnya Rahma kecilku tidur l...elaaaap sekali dari sejak malam sampai siang ini. Dan terbangun dengan senyumnya.
Semoga Allah melindungimu selalu ya nak...

Rabu, 24 Maret 2010

Hak Cipta, Milik Siapa? .........



Hak cipta, Hak Paten, Hak Kekayaan Intelektual

Kata-kata itu dulu tidak menarik perhatianku sama sekali. Hanya sedikit yang kufahami tentang kata-kata itu saat di televisi ada memberitakan tentang pembajakan yang dilakukan orang atas album-album artis tertentu atau film-film, dimana para pelaku seni yang memproduksinya meradang karenanya. Ada yang beralasan dengan pembajakan tersebut merasa karya seninya tidak dihargai sampai alasan hak Royalti yaitu imbalan/hak  atas hasil karya mereka.


Kata-kata itu kini mulai menarik perhatianku. Sejak aktif menulis di dunia maya, saya sering menyertakan tulisan saya bersama gambar-gambar yang kebanyakan saya ambil dari Google Image,( dengan maksud sebagai ilustrasi untuk lebih memperjelas maksud tulisan-tulisan saya) disebabkan foto-foto hasil karya sendiri belum banyak dan belum memiliki hasil yang seindah foto-foto dari Google  (yaah banyak faktor juga sih, disamping kamera yang mungkin belum canggih juga ilmu fotografi yang minus ).

 Dalam proses penulisan, berjalan lancar-lancar saja. Naah,justru pada saat mengaplikasikan gambar/foto dari Google-lah, saya beberapa kali lupa untuk mencantumkan sumbernya. Disitulah saatnya ada seorang sahabat yang  mengingatkan saya tentang pentingnya mencantumkan nama/sumber dimana tempat saya menggunakan hasil karya orang lain dalam hal ini foto dari Google Image.

Saya sendiri memiliki teman-teman blog yang berkecimpung dalam dunia kuliner dan fotografi, dimana mereka sangat concern terhadap masalah copyright ini. Bahkan dalam beberapa tulisan di blog-blog mereka seringkali membahas tentang hal ini bilamana terjadi 'pencurian' foto-foto mereka oleh orang lain yang kemudian dipublikasi tanpa izin (ya iya laah, kalau mencuri berarti nggak pake izin yaa ^_^). Mereka menjelaskan tentang betapa sulitnya proses menuju hadirnya "hidangan/tampilan foody blog mereka dari mulai memproduksi masaknnya sendiri, mempersiapkan perangkat dan accessory hidangan untuk kepentingan foto masakan mereka hingga keberadaan kameranya itu sendiri yang kadang-kadang banyak bagi yang ingin memiliki kamera kualitas bagus harus menabung dulu untuk mewujudkannya dan hal itu saya alami sendiri,walaupun blog saya tidak bertema foody bloger.


Secara pribadi,saya setuju dengan pandangan tentang Hak Cipta ini. Apalagi sebagai muslim saya menyadari bahwa syari'at Islam juga mengatur tentang hak kepemilikan. Dimana sesuatu tidak bisa menjadi milik kita melainkan dengan keridhoan pemilik sebelumnya, baik dengan cara membelinya ataupun dengan izin lisannya (secara cuma-cuma) dan banyak penjelasan yang detail mengenai hal ini. Walaupun memang, masalah hak kepemilikan di bidang seni ini baru marak di era/ zaman kita sekarang karena di masa lalu belum ada karya seni bidang fotografi kecuali lukisan-lukisan. Ditambah lagi di negara kita telah diatur juga tentang masalah ini dengan hadirnya Undang-Undang Hak Cipta atau Hakki, sehingga tidak ada jalan lain bagi kita kecuali mematuhinya.

Namun, pada sisi lain, saya juga punya banyak teman di kalangan para penulis relijius, yang keberadaan mereka telah memenuhi jagat maya ini dengan tulisan-tulisan indah yang mengingatkan kita tentang makna hidup. Di kalangan mereka, khusus tentang karya-karya tulis maupun gambar di internet yang mereka fahami sebagai ruang publik,dimana merupakan suatu resiko apabila hasil karya mereka atau siapapun akan disebar/ dicopy paste/ orang lain dengan ataupun tanpa izinnya. Tetapi nampaknya bagi mereka hal itu bukanlah hal besar yang harus diperso'alkan,karena bagi mereka justru semakin banyak karya-karya baik yang dibaca atau digunakan lalu disebar dengan cara apapun kepada massa yang lebih banyak akan memperbesar nilai mereka di hadapan Allah. Banyak diantara mereka yang bahkan menulis di Profil Pribadinya baik facebook, blog, E-mail atau apapun bahwa siapapun yang ingin memperbanyak tulisan atau foto-foto mereka tidak perlu meminta izinnya. Saya bisa menyebutkan diantara mereka ada Ustadz/ KH.  Muhammad Arifin Ilham, Jeanny Dive pada akun facebooknya dan banyak lagi yang saya belum dapat menyebutkannya satu persatu yang mempunyai sikap demikian.

Disini ada ruang bagi kita untuk saling memahami,khususnya saya pribadi bahwa kedua fihak yang berbeda dalam mensikapi Hak Cipta ini sama-sama memiliki alasan.Terserah kepada kita untuk meyakini yang mana.

Saya kemudian hanya teringat kepada Baginda Rasulullah Muhammad saw. Nabi yang dikirim Allah kepada kita semua untuk menjadi contoh hidup terbaik. Beliau dikenal sebagai pribadi yang santun dan dermawan luar biasa. Pribadi yang tidak pernah menolak permintaan siapapun yang memerlukan pertolongannya semampu beliau. Jika beliau tidak mampu mengabulkan permintaan tolong seseorang maka beliau saw menyuruh orang itu untuk meminjam kepada orang lain atas nama beliau. Pribadi yang tidak pernah mendahulukan kepentingan diri dan keluarganya diatas kepentingan orang lain. Pribadi yang pada saat pembagian Ghanimah (Harta rampasan perang) tidak melebihkan diri dan keluarganya diatas diri dan keluarga pasukannya. Pribadi yang pada saat wafatnya berbaring di atas pembaringan beralas pelepah pohon kurma dalam keadaan menanggung hutang seorang beragama Yahudi yang dahulu pernah meminta pertolongannya.

Tidak berkurang rezeky kita karena tulisan/foto/hasil karya kita diambil atau dicatut orang lain. Tidak berkurang rezeky kita karena jerih payah kita diklaim orang lain. Bahkan tidak berkurang rezeky kita jika datang perampok merampas harta dari tangan kita. Karena hakikat rezeky sesungguhnya adalah segala apa yang bisa dinikmati saat ini. Apa yang luput dari kita hari ini berarti bukan rezeki kita dari Allah,walaupun bertumpuk uang atau emas di Bank atas nama kita.

Tapi.....Harus digaris bawahi, ini tidak berarti kita boleh berbuat melanggar hak orang lain seperti diceritakan di atas. Sebagai umat Nabi yang memiliki akhlak yang baik tetaplah kita wajib memiliki akhlak yang luhur, termasuk dalam menggunkan media internet ini.Segala peraturan yang mengikatnya harus kita fahami betul. Saya hanya menekankan agar kita juga tidak cepat memvonis orang sebagai Plagiator atau Penjiplak begitu saja. Harus dilihat latar belakangnya,mungkin orang itu belum tahu atau memahami tentang hak cipta ini,atau sekedar lupa mencantumkan sumber pengambilan tulisan atau gambarnya. Boleh diingatkan dengan cara yang baik. Apabila yang bersangkutan meminta maaf, maka maafkanlah seperti sifat Allah yang Maha Pemaaf. Toh pinternya kita juga kan karena Allah yang meminjamkan, bukan pintar karya kita sendiri ya ^_^.




semoga bisa menjadi bahan tafakur


Bogor, 24 Maret 2010
Catatan: Ilustrasi saya ambil dari Google

Kamis, 18 Maret 2010

Ibu Dimana ?..........



Pada suatu pagi di TK Indria, ibu guru sedang bercerita tentang Keluarga Kelinci yang saling menyayangi. Semua anak terpesona dengan cerita gurunya yang menarik hati. Di akhir cerita, ibu guru itu lalu bertanya :"Anak-anak, coba sekarang Ibu ingin tahu, siapa orang di rumahmu yang paling kamu sayangi  ?. Anak-anak berebutan mengacungkan tangannya ingin menjawab pertanyaan ibu gurunya.

 Alfian:" Ibu Guru,aku sayang Mama".


Ibu Guru : " O ya? kenapa Alfian sayang Mama?"


Alfian: " Mama baik", Alfian menjawab singkat tetapi wajahnya tersenyum.


Ana: " Ibu Guru, aku paling sayang sama adekku, abis lucu". Ana yang cantik itu membayangkan wajah adiknya yang menggemaskan.


Andi: " Ibu Guru, Ibu Guru, kalo Andi sayang Bunda".


Mischa: " Aku sayang Papa".


Wida:"  Ibu Guru aku sayang Abel kucingku"


Ibu Guru tersenyum, semua anak berteriak-teriak sambil mengacungkan telunjuknya, menyampaikan siapa yang disayanginya. Tetapi senyum sang Guru terhenti saat melihat ada satu muridnya bernama Adinda yang asyik memainkan kertas origami di sudut kelas, ia tidak tampak tertarik dengan semangat teman-temannya. Dihampirinya anak itu, lalu bertanya :


"Adinda, siapa yang paling kamu sayangi di rumah?". Ibu guru berusaha bertanya dengan suara yang tidak mengejutkan Adinda namun masih dapat didengar teman-temannya. Adinda menatap sekilas ibu gurunya, lalu dengan santai ia menjawab sambil terus memainkan origaminya :

" Bibi".


Ibu Guru: "Bibi ?" Maksudnya Bi Tini yang suka mengantarmu ke sekolah? kenapa sayang?"


Adinda:" Abis Bibi baik, suka temenin Dinda sekolah, sama main".


Ibu Guru:"Kan Mama Dinda juga suka temenin Dinda"


Adinda: "Mama temenin Dinda cuman kalo ke Mall doang, sama jalan-jalan ke Bali. Kalo Bibi kan suka temenin Dinda kalo Dinda lagi sakit".



Ibu Guru tertegun, yang ia ketahui orang yang dipanggil Bi Tini ini adalah pembantu rumah tangga di keluarga Adinda. Setiap hari Bi Tini ini yang mengantar sekolah Adinda dan menjemputnya saat bubar sekolah. Ibu guru juga mengetahui, ibunda Adinda adalah seorang ibu rumah tangga, namun sangat sibuk. Hampir setiap hari pergi ke luar rumah untuk mengurus bisnis kecil-kecilannya. Ayah Adinda seorang pekerja kantoran yang setiap hari pergi pagi dan sampai ke rumah jika hari telah malam.


Melihat Adinda yang dengan polosnya menjawab pertanyaan-pertanyaannya, berkaca-kaca kedua mata sang Ibu guru. Rupanya, ada yang "tercatat dalam benak dan hati" gadis kecil itu.


Bahwa orang yang selama ini paling banyak memberi makna dalam hidupnya adalah orang yang selalu menemaninya dimanapun ia berada. Walaupun sedang sibuk mencuci baju keluarga mereka, Bibi akan memburunya saat ia menangis karena terjatuh dan kakinya lecet, lalu menggambilkan obat merah di lemari sambil menghiburnya.

Bibi yang mengetahui kapan ia sedang merasa lapar atau haus lalu menyuapinya di gendongannya, walau harus menunda pekerjaannya.

Bibi juga yang memandikannya pagi-pagi, lalu memasangkan baju seragam dan sepatunya, menyiapkan sarapan dan mengantarnya ke sekolah dekat rumah.

Bibi akan menghiburnya saat temannya di dekat rumah tidak mau mengajaknya bermain, lalu seperti biasa akan mengeluarkan cara-cara lamanya yaitu menyanyikan lagu Kasih Ibu.

Sejak kehadiran adiknya setahun yang lalu, Adinda juga mulai tidur satu kamar dengan Bibi. Sehingga Bibi lah kini yang menemaninya jika Adinda ketakutan melihat bayangannya sendiri di kamar, atau yang mengantarnya ke toilet jika tengah malam ingin buang air kecil.

Adinda ingat Mamanya akan mengajak serta Bibi jika mudik ke Solo saat Lebaran tiba, supaya beliau tidak direpotkan oleh rengekannya di tengah jalan.


Di mata Adinda, orang-orang yang dipanggilnya Mama dan Papa adalah orang-orang baik yang akan memberinya uang jajan atau membelikannya dan adiknya baju dan sepatu baru. Yang sekali-kali mengajaknya pergi jalan-jalan atau nonton. Jika papanya tidak sibuk dan mengambil cuti, Adinda akan diajaknya bersama Mama dan adiknya liburan ke luar kota atau berenang bersama. Sementara Bibi,hanyalah orang yang "terlalu" rajin yang akan mencuci baju-baju kotor keluarganya, membereskan rumah mereka dan.......... menemani masa kecilnya.......


Mama dan Papa banyak menemaninya di saat-saat senangnya....

Sedang Bibi banyak menemaninya di saat-saat gelisah, sedih dan takutnya.....


------------------------------------------------------------------------*


Yaa Allah, betapa telah Engkau titipkan kepada kami, hamba-hamba kecilMU yang kami sebut mereka 'Anak kami' tetapi telah kami sia-sia kan tanpa kami sadari.


Betapa rindunya mereka ditemani.... baik di saat senang apalagi di saat sedih


Betapa rindunya mereka dihujani kata-kata lembut dan senyum ramah kami


Betapa rindunya mereka akan maaf dan keridhoan kami di saat mereka melakukan kesalahan


Betapa rindunya mereka melihat kami lebih melihat keberhasilan-keberhasilan mereka dan berbangga dengannya daripada menyesali dan mengomeli kekurangan-kekurangan mereka.

Betapa rindunya mereka mendengar nama mereka disebut-sebut  dalam do'a-do'a kami kepada Allah di penghujung malam.


Betapa rindunya mereka, disaat hari tua kami dan masa dewasa mereka,dengan mudahnya menyayangi dan mencintai kami karena tak sedikitpun cela dan keburukan kami kepada mereka yang mereka bisa ingat.


Wahai anak-anak kami....

Maafkan Umy Abymu, Mama Papamu, Ayah Bundamu, Bapak Ibumu.....Jika belum dapat menjadi orang tua yang baik.
Orang tua yang memiliki lautan maaf untuk kesalahan-kesalahan kecilmu.
Orang tua yang berusaha membagi waktunya yang terbaik untuk membahagiakanmu.
Orang tua yang memberikan samudra kelembutan dan senyuman yang akan menentramkan hatimu. Orang tua yang memahami kegelisahan dan kegundah gulanaanmu.
Orang tua yang membuatmu bangga memilikinya.
Orang tua yang kau rindukan saat kami wafat meninggalkanmu.........


Allahu Rabby, ampunilah kami yang belum dapat menjaga amanahmu sesuai KehendakMU...

Betapa  faqirnya kami dihadapanMU,wahai yang Maha Pengasih dan Penyayang.......


Bogor , 18 Maret 2010

Terinspirasi dari kisah sebuah keluarga di lingkunganku

Catatan :  Gambar ilustrasi saya ambil dari Google

Selasa, 09 Maret 2010

Bukan sekedar password


Sssttt......tenanglah...!
Coba perhatikan.....

Lihat bayi itu, sedang lelap tertidur, setelah seharian bermain-main rupanya ia kelelahan.
Kita pun orang-orang yang telah dewasa membutuhkan tidur untuk beristirahat, bertahan sekuat apapun jika sudah kelelahan pasti tertidur juga. Di sofa ruang tamu, di tempat tidur, di depan TV, di dalam bus atau kereta api, di tengah jam perkuliahan, bahkan di trotoar-trotoar jalan sekalipun kita saksikan banyak orang yang lelah tertidur dengan nyenyaknya. Tak ada yang bisa menahannya, kecuali..............


Tapi tidak selalu begitu juga...
Kau tahu ? Banyak orang yang merasa kesulitan untuk bisa tidur. Mereka menyebutnya 'Insomnia'. Berat terasa bagi orang yang mengalaminya. Bayangkan, ia lelah luar biasa namun untuk bisa tertidur, sesuatu yang sejak awal kehidupannya tidak pernah terlewatkan dan menyamankannya, ia sudah tak bisa. Tidur, menjadi barang yang mahal harganya, kadang-kadang ia harus membelinya dengan menukar seteguk obat agar dapat merasakannya. Itupun hanya bersifat sementara, sedang tidur yang didorong obat-obatan tentu saja bukan tidur yang nikmat. Tak ada yang bisa menghadirkannya kecuali..............


Sssssttt.......coba perhatikan lagi....

Mengapa orang itu tersenyum-senyum sendiri sambil mengerjakan sesuatu. Coba kita intip apa yang ada di benaknya....Hmmm ternyata dia sedang mencintai seseorang. Rasa itu hampir-hampir "meledakkannya". Tak tahan, ingin melakukan apapun untuk orang yang dicintainya. Pantas ada sebuah lagu yang mengungkapkan, jatuh cinta itu berjuta rasanya. Menandakan, orang yang merasakannya begitu terlena.
Mencintai seseorang itu beraneka rupa bentuknya, tergantung kepada siapa ia sedang mencinta. Seorang Ibu tak diragukan lagi, besar cintanya kepada anak-anaknya. Jika ia bisa, akan dilakukannya untuk membahagiakan buah hatinya.Atau Istri kepada suaminya atau sebaliknya. Bisa jadi anak kepada orang tuanya. Atau seorang teman kepada sahabatnya. Jika takdir menghendakinya berpisah dari orang yang dicintainya karena sesuatu urusan atau bahkan kematian, kita lihat...orang dapat demikian terpukul. Sampai-sampai rasa sakitnya menyesakkannya. Tak kuat menanggungkan perpisahan dengan orang yang biasa dikasihinya.


Tapi, ada pula yang tak kuasa menahan benci. Demikian beratnya kebencian membebaninya, sampai-sampai apapun akan ia lakukan untuk melampiaskannya. Kita saksikan, kemarahan dan segala upaya untuk menyakiti orang lain telah menjadi pilihan para pembenci sesamanya. Walau kadarnya berbeda-beda namun siapa yang bisa menghalang-halangi perasaan ini ?. Tidak ada, kecuali..........

Sssttttt.........Perhatikan sekali lagi.........
Bagaimana jika orang tak menemukan makanan dan minuman? Tak ada yang dapat menanggungnya jika hal itu terjadi dalam jarak 15 jam. Apalagi barang seteguk air, tidak bisa orang bertahan tanpanya dlam sehari semalam. Menjadi lemas seluruh tubuh, tak kuat membawa beban dan aktivitas. Walau banyak orang kelaparan di dunia ini, tetaplah ia membutuhkannya walau harus mengambil sesuatu yang menjijikkan. Tidak ada yang dapat menolak lapar dan haus, kecuali.................

Bagaimana kita bisa menahan virus yang demikian kecil ukurannya..? Bagaimana kita bisa menangkis sesuatu yang mata kitapun tak dapat melihatnya memasuki tubuh kita ?. Bagaimanapun kita tidak menginginkannya, mereka akan tetap masuk, mengobrak-abrik sistem pertahanan tubuh kita dan kadang-kadang memenangkannya ............

Bagaimana kita bisa menahan sel-sel kanker itu hidup dan berkembang di dalam tubuh kita, merusak organ-organ penting tubuh kita. Memberikan penderitaan yang luar biasa. Bagaimanapun kita tidak menginginkan kehadirannya, mereka tetap masuk dan bekembang biak, memenuhi semesta tubuh kita .......

Ssssttt.....diamlah.....

Coba tafakuri....tanda-tanda apakah itu semua?

Ternyata.....ITU SEMUA KARENA KITA LEMAH....karena kita ini FAQIR....dihadapan semua kekuatan-kekuatan itu. Sangat terbatas. Di hadapan Tuhan yang Allah asmaNYA. So weak...so helpless.


Bagaimana kita dapat menahan TAQDIR, Kehendak yang tak terbatalkan dari Sang Kreator, Maha Pencipta yang detail, yang terus Memelihara dan Mengendalikan ciptaanNYA.

Ingatkah , ketika kita diajarkan bahwa untuk memulai segala aktivitas, mulailah dengan mengucapkan Basmalah (Bismillaahirrahmaanirrahiim) ?
Ternyata, Basmallah bukan hanya sekedar Password untuk memulai aktivitas kita. Seolah-olah, hanya dengan mengucapkannya, maka aktivitas itu akan bermakna dan bernilai bagi diri pelakunya. Benarkah demikian ?. Karena burung Beo pun, jika dilatih mengucapkan Basmallah tentu ia pun dapat fasih melafalkannya. Bahkan orang-orang yang tak meyakininya pun,dengan mudah dapat meniru pengucapannya.

Lalu dimanakah letak kesakralan Basmalah jika demikian?
Ternyata itu semua tergantung pada bagaimana kita memaknai kalimat itu.

Bismillaahirrahmanirrahiim
Orang-orang sering menterjemahkannya :"Dengan menyebut Nama Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang".
Saya bukan ahli bahasa, apalagi Bahasa Arab. Namun jika hanya berhenti pada pengertian seperti tersebut dalam terjemahan itu, maka pantaslah segala aktivitas kita itu menjadi tidak bermakna dan mendapat nilai ibadah, Karena Nama sang Maha Rahman dan Rahim itu HANYA DISEBUT saja, terucap didalam lisan  tanpa disertai Khidmat dan Takdzim hati kita kepadaNYA.

Kalimat Basmalah seharusnya merupakan Ruh yang menyertai dan menjiwai segenap aktivitas dan perbuatan kita. Dimana maknanya terpatri dalam hati, kesadaran bahwa Bersama Dzat yang disebut Allah asmaNYA,dengan seluruh sifat Maha PengasihNYA dan PenyayangNYA maka segala perbuatan kita terjadi. Karena tanpa bersamaNYA, dari sejak awal hingga akhirnya, kita tidak memiliki daya dan kekuatan sama sekali. ibarat daun kering yang terombang-ambing hantaman ombak di atas samudra.

Maka kesadaran bahwa Allah selalu Menyertai dan Meliputi (tidak dari kejauhan, namun dari kedekatan yang amat dekat, bahkan dapat terasa kehadiranNYA di dalam rasa hati) seharusnya menjadi TITIK TOLAK agar segala aktivitas ini dilakukan semata-mata demi untuk mensucikanNYA.

Kesadaran bahwa diri ini sangat terbatas dan sangat lemah dihadapanNYA, bukan untuk mereduksi / mengurangi semangat kita. Namun untuk mengembalikan pensikapan yang benar pada tempatnya.

Semangat adalah "Api" yang harus terus kita tiupkan kedalam diri ini untuk terus beramal shaleh, memperbanyak lakon pitukon di dunia ini, semata-mata demi untuk memenuhi PerintahNYA. Bukan karena kita bisa, karena yang mem"bisa"kan kita juga hanyalah DiriNYA Tuhan, Allah namaNYA.

Alangkah santunnya Insan, yang senantiasa melantunkan dalam lisan dan hatinya :

LAA HAULA WA LAA QUWWATA ILLA BILLAAH AL'ALIYYIL 'ADZIIM
Tidak ada daya dan kekuatanku, kecuali yang dipinjamkan dari Allah yang Maha Tinggi lagi Maha Agung.


Wallahu A'lambishawwab
Bogor 10 Maret 2010

Sabtu, 06 Maret 2010

Gerobak Untuk Anak-Anakku

Sejak kepindahan keluarga kami dari kota Bandung, sudah sekitar dua tahun lebih tidak melihatnya. Entah mengapa, sekarang aku teringat lagi kepada mereka.

 Seorang Bapak pemulung yang setiap hari memutari perumahan tempat kami tinggal untuk memungut apa saja barang-barang dari tempat sampah warga perumahan yang bisa ia jual kembali. Barang-barang bekas dari plastik atau kardus yang telah menjadi sampah itu diletakkannya di dalam gerobaknya yang ia tarik setiap hari kemanapun ia pergi.

Di dalam gerobak penuh barang-barang bekas itu duduk anak laki-lakinya yang berusia sekitar 2 tahun (pada saat itu) 'anteng' bermain-main dengan mobil-mobilan yang didapat ayahnya dari tempat mana lagi selain tempat sampah orang.

 Dibelakang gerobak yang ditarik sang bapak, berjalan istrinya dengan menggendong seorang bayi perempuan. Berjalan mengikuti kemana saja suaminya pergi,sambil sesekali ia pungut juga sesuatu yang belum terambil oleh suaminya.

 Demikian setiap hari, keluarga kecil itu beriringan berkeliling dari satu rumah ke rumah yang lain, "menyulap" sampah orang untuk dijadikan sebungkus nasi untuk keluarganya.

Suatu pemandangan yang menyentuh hati, menyaksikan ketabahan mereka.


Jika aku sedang merawat tanamanku, atau menyapu halaman, kulihat dari sudut mataku, sang bapak berdiri diam di pintu pagar rumahku. Tidak mengatakan atau meminta sesuatu apapun kecuali menyapaku dengan kata-kata yang kadang-kadang sulit kumengerti karena baru tersadari bapak pemulung ini ternyata kurang fasih dalam berbicara sehingga terkesan seperti sedang bergumam tapi aku tahu pasti dia berbicara dalam bahasa Indonesia.

Jika sudah demikian, aku hanya tersenyum dan mengangguk saja. Awalnya ada rasa 'takut', tetapi setelah melihat anak-anak dan istrinya, rasa itu berganti menjadi iba. Jika ditawarkan sesuatu, makanan atau barang, maka nampak mimik senang di wajahnya.


Semakin lama aku dan keluarga mereka semakin "akrab". Keakraban yang hanya bisa difahami oleh masing-masing hati kami, karena tidak pernah ada obrolan panjang diantara kami. Istrinyapun bahkan tidak pernah bicara, hanya mengggendong bayinya dan memperhatikan si sulung di dalam gerobaknya.


Jika telah selesai "urusan"nya di rumahku, maka mereka akan segera melanjutkan perjalanannya ke gang-gang lain, dari satu pintu pagar ke pintu pagar yang lain, mengais-ngais sampah di halaman orang.


Saat mereka menjauh, dari belakang sering kuperhatikan keluarga itu. Betapa hebatnya 'perumpamaan' yang Allah berikan melalui figur mereka. Seluruh "dunia"  mereka hanya sepenuh gerobak yang ditarik sang pemulung. Tak punya walau segubuk kumuh untuk tempat berteduh, tak ada janji makanan apa yang bisa ditemukan hari ini untuk istri dan anak-anak balitanya, tak ada ganti untuk pakaian kotor dan kumal. Betapa menakjubkannya Allah Tuhanku, dimana mereka berteduh jika datang hujan lebat?  kemana mereka pergi mendapatkan makan dan minuman? apakah berhasil menemukan nasi, yang cukup untuk empat orang? bagaimana dalam keadaan seperti itu, anak-anak mereka nampak gemuk dan sehat walau terlihat kotor dan lusuh?.

Sulit kubayangkan jika kucoba membandingkan dengan keadaanku, saat istri pemulung itu hamil lalu melahirkan. Dimana bersalinnya dan siapa yang menolongnya?  Apakah mereka mendapatkan barang sedikit popok atau kain untuk bayinya?. Bagaimana jika salah satu atau kedua anak mereka sakit atau demam ? Apakah mereka tahu dan bisa membeli obat penurun panas untuk meredakan sakit anaknya? apakah mereka memiliki selimut untuk menghangatkan tubuh buah hatinya?


Maha Suci Allah yang Maha Agung
Jika DIA memberikan rezekyNYA kepada cacing-cacing tak bermata dalam tanah, atau belatung-belatung lemah dalam makanan busuk, atau dia berikan rezekyNYA kepada Kecoa, Kelabang, Tikus di got-got. Maka tentu telah DIA sediakan pula rezekiNYA yang Maha Luas bagi keluarga ini.Karena sesunguhnya DIA lah Sang Maha Pemelihara.

Kini aku telah tinggal di tempat yang jauh dari mereka. Tidak kusaksikan lagi salah satu ayat Tuhan itu. Tidak pernah kudengar lagi berita tentang mereka.

Kecuali pada suatu hari, alangkah gembiranya aku ketika mudik ke rumah orang tuaku  dimana tidak jauh dari rumahku dulu. Allah pertemukan kembali aku dengan mereka. Tidak berbeda dengan masa yang lalu, sang Ayah menarik tali gerobaknya yang tersangkut di pundak dan tangan di tiang gerobaknya. Hanya saja kala itu yang berada dalam gerobak bukan hanya Sang Kakak yang telah tumbuh besar, tetapi juga sang adik perempuan yang  telah berusia kira-kira dua tahun.

Tetapi ada yang kurang....Dimana sang Ibu?
Saat kutanyakan kepada bapak pemulung itu, dengan wajah murung ia mengabarkan bahwa ibu anak-anak telah pergi entah kemana. Meninggalkan suami dan anak-anaknya yang masih teramat kecil. Pergi karena tak kuat menahan penderitaan kehidupan mereka. Tanpa kabar,tanpa berita.

Aku menatap anak-anak itu di dalam gerobak sang pemulung, sedang asyik bercengkrama. Tidak tahu kemana ibu mereka pergi. Hanya kepada Ayah tempat mereka bergantung kini.

Kubayangkan anak-anakku sendiri. Rahma satu tahunku. Bagaimana keadaannya jika tiba-tiba kutinggalkan pergi dan tak kembali. Sedang sehari-hari 24 jam dia bersamaku, menikmati hari-harinya bersama orang yang bisa dipanggilnya ibu. Bagaimana dengan mereka? anak-anak yang sebaya dengan anak-anakku? anal-anak kita semua?  Mereka balita, sangat polos dan lugu.

Tetapi pertanyaan itu tak pernah terjawab, seiring berlalunya sang pemulung. Membawa jauh seluruh "dunia"nya, barang-barang rongsokan dan kedua buah hatinya.


Semoga Allah selalu Melindungi mereka, Menyelimuti mereka dengan Kasih dan SayangNYA, Membekalkan Ilmu ,  mengaruniakan kesehatan dan kesejahteraan, serta menghadiahkan Keselamatan.
Allahumma ya Rabby,Aamiin.


Bogor 7 Maret 2010


*Bagi yang pernah tinggal di sekitar Jl.Kopo Bandung, mungkin mengenal sosok-sosok  itu, silahkan untuk turut mendo'akan *

Rabu, 03 Maret 2010

Hanya Soal Paradigma,Bismillah sajalah....

Bismillahirrahmanirrahiim

Hmm sudah berapa lama ya tinggal di rumah yang sekarang?...Dulu, di rumah yang itu sudah tinggal berapa lama? Belum lagi sewaktu masih tinggal dengan orang tua. Banyak bertemu orang, orang yang sama ataupun orang yang berbeda-beda. Kini sejak ada facebook atau situs pertemanan lainnya orang bisa bertemu lagi dengan orang-orang yang telah lama berpisah darinya. Apakah kau temukan sesuatu yang khas dalam perjalan hidup mu itu?


Bagiku ada, sangat khas dan semua orang pasti melihat kekhasan itu pula, ialah keadaan dimana kita menemukan orang-orang itu (termasuk diri kita sendiri) jika tidak dalam keadaan Lemah tentulah ia ada dalam keadaan kuat. Lemah ataupun kuat dalam hal hartanya, bentuk rupa wajah dan tubuhnya, status sosialnya, kedudukannya, profesinya, gender, bahkan bisa jadi dalam hal ilmu.

Biasanya dalam hal Harta, orang-orang akan menganggap kuat kepada orang-orang yang kebetulan memiliki harta yang lebih banyak dibanding dengan harta miliknya. Rumah, furniture, kendaraan pribadi, makanan-makanan yang diinginkan seleranya dan segala pernak-pernik yang berkaitan dengan itu.

atau, dalam hal bentuk rupa wajah dan tubuh, orang-orang cenderung akan menganggap dalam posisi yang kuat kepada orang-orang yang dianggapnya lebih cantik/tampan dibanding dengan dirinya. Maka karena hal itu lah maka ia menganggap dirinya lebih lemah.


Atau dalam hal status sosial dan kedudukan, orang yang dianggap lebih kuat kebanyakan adalah para petinggi-petinggi atau pemegang jabatan-jabatan penting dalam insitusi, apapun.Sehingga kepada orang yang seperti itu, orang-orang cenderung akan lebih mmemberikan penghormatan daripada kepada urang yang tidak berada pada posisi itu.


Atau dalam hal profesi, orang akan menganggap kuat kepada orang-orang yang memiliki profesi yang dapat menghasilkan pendapatan yang lebih besar daripada dirinya. Jka seorang pengusaha bisa memperoleh pendapatannya Rp.5000 ,- maka pasti ia lebih kuat pendapatnnya dibanding dengan misalnya seorang tukang kue pancong yang hanya bisa mendapat penghasilan Rp. 5 ,-.

Seorang laki-laki pasti akan dianggap lebih kuat dibanding wanita karena dinilai mampu mencari nafkah untuk keluarganya, atau lebih mampu mengangkat benda yang berat dibanding wanita, dan lain-lain contoh dimana banyak fenomena terjadi di masyarakat,anda bisa mencari contohnya sendiri.


Seseorang juga akan dianggap kuat ilmunya oleh orang-orang jika ia mempunyai titel Insinyur, Doktor, Profesor, Ulama, Pendeta, Pemuka agama, Seniman dsb, dibanding orang yang tidak berhasil mendapatkan titel itu di dalam hidupnya. Dimana jika tidak memahami makna dan maksud pencapaiannya,dapat memunculkan rasa 'aku' atau 'ego' terhadap orang-orang yang memang memperolehnya


Disinilah masalahnya..........
Ternyata semuanya itu pada hakikatnya terbalik !!!


Jika kita mau sedikit bertafakur, tahu Bhiksu kan?
Dikenal orang pada umumnya, para Bhiksu itu orang-orang yang sangat santun, namun hidup berkelompok dengan sesama bhiksu lainnya di tempat yang sunyi, jauh dari keramaian dan pergaulan, baju dan penampilan sangat sederhana seolah tak dapat mengecap nikmat dunia. Membuat orang-orang berfikir alangkah kasihannya mereka hidup dalam komunitasnya. Namun, jika diperhatikan, justru dalam keadaan yang demikian itulah, mereka berhak menyandang predikat orang yang kuat, karena disaat orang lain menginginkan bebas bergaul bersama teman-temannya, mereka justru memutuskan untuk menyepi,mencari ilmu dan mendamaikan hati bersama para guru dan temannya sesama bhiksu itu. banyak ceritra-ceritra bersejarah yang mengisahkan kepahlawanan para bhiksu ini. Di daratan China dan sekitarnya para bhiksu ini dikenal sebagai para ahli bela diri yang mumpuni.Juga ahli obat-obatan. So, para bhiksu itu justru lebih kuat karena mereka mampu bersabar menjalaninya.


apakah orang-orang miskin itu lebih kuat dibanding dengan orang-orang yang kaya hartanya?. Jawabannya adalah YA !!. Karena disaat orang kaya bingung memikirkan menu apa yang ingin disantapnya di rumah atau sebuah restoran, maka sering orang-orang miskin itu dengan cepat dan berani memutuskan untuk memakan habis nasi bungkus sisa makan orang lain yang dibuang ke tempat sampah. Orang-orang tuna-wisma kuat tidur di pinggir jalan hanya beralas kardus bekas dan tanpa berselimut. Betapa kuatnya mereka,setiap hari melihat orang kaya berseliweran dengan mobil-mobil bagus, baju-baju yang pantas dan sibuk memperhatikan penampilan dirinya sedang mereka dengan cueknya berjalan tanpa ada beban walau berjalan kiloan meter berjalan tanpa alas kaki dengan baju yang sudah kumal


Bagaimana dengan saudara-saudara kita yang mendapat keterbatasan pada tubuhnya namun tetap masih bisa beraktivitas untuk diri dan keluarganya bahkan masyarakatnya? Tentu saja mereka oran-orang yang kuat mentalnya, mereka bukannya tidak sadar orang-orang memandangnya aneh dan iba melihat keadaan tubuhnya,namun ia kuat menghadapi pandangan-pandangan orang itu tanpa marah dan emosi. Di situlah kekuatannya.


Banyak terjadi kaum wanita yang disakiti oleh kaum lelaki,misalnya suaminya. Mereka mampu bertahan didalam bahtera rumah tangganya dimana dia dianggap lemah posisinya. Banyak wanita yang kita kenal telah ditinggal suaminya wafat, namun disisa usianya dia tidak pernah menikah lagi, sendirian menafkahi dan membesarkan anak-anaknya sehingga dewasa dan berhasil. Atau dalam kasus-kasus poligami dimana para istri dengan rela menyaksikan orang yang dicintainya menikah lagi dengan perempuan lain, menunjukkan ketegaran hati dimana banyak wanita lain tidak sanggup menghadapinya.


"Anggapan-anggapan orang" itulah yang selama ini banyak menghakimi kehidupan seseorang. Anggapan orang tentang kelemahan, ternyata pada kenyataannya menunjukkan kekuatan. Semakin sering seseorang dianggap lemah, sehingga tidak mudah untuk memenangkan "pertarungan hidup" maka seharusnya akan semakin lepas dia dari beban pandangan orang bahwa dia harus berhasil ini dan itu. Nah karena lepas itulah,dia bisa lebih bebas mengekspresikan kemampuannya. Ada pepatah yang mengatakan bahwa, "Semakin sering kau jatuh, maka semakin tidak takut sakit".


Karena kekuatan itu hanya datang dari dan milik Allah saja, kelemahan diri yang disaksikan orang lain, tidak selalu berarti itulah yang sesungguhnya. Selama masih memiliki cita-cita yang baik, maka teruslah berjalan, Allah sendiri yang memperjalankanmu dari sejak dahulu dan selamanya,demikian pula terhadap alam semesta ini. So, tetap semangat kawan, Keep Bismillah


4 Maret 2010

-Winny-
Alhamdulillah
Website: http://winnywidya.blogspot.com