This foto belong to AFSP Central Florida

Kamis, 25 Februari 2010

H a l i m u n



Sukawana, nama sebuah daerah yang terletak 30 kilometer sebelah utara kota Bandung tepatnya di Lembang. Sejauh mata memandang, nampak hamparan perkebunan teh, bak permadani hijau yang menutupi tanahnya yang subur. Di arah selatan berdiri megah Gunung Tangkuban Perahu di mana lerengnya dinaungi hutan Pinus yang semerbak. Latar belakang biru muda dari langitnya dan awan putih yang berarak-arak dihembus angin yang lembut memayungi jalan berbatu yang di kiri kanannya tumbuh pohon-pohon strawberry yang berjajar rapih, menghalangi pandangan dari kandang-kandang sapi penduduk serta tempat pengolahan susunya. Di bukit-bukitnya, memancar mata air-mata air yang mengaliri sisi-sisinya, jika terkena cahaya matahari, air yang dingin sejuk itu akan berkilau indah sekali, begitu murni karena penduduknya sungguh-sungguh menjaga sungai-sungai kecil mereka agar tetap dalam keadaan yang bersih sehingga dapat mereka gunakan untuk minum keluarganya. Letak dataran ini cukup tinggi di atas permukaan laut membuat udaranya sangat lembab dan senantiasa diselimuti kabut tebal, masyarakat setempat sering menyebutnya halimun. Dari sekeping syurga dunia inilah, kisahnya dimulai…


Hari itu matahari sudah cukup tinggi, para wanita petani pemetik teh dengan mengenakan topi besarnya yang mereka sebut caping dan berbalut kaus tangan asyik mencabuti pucuk-pucuk daun teh dan melemparkannya masuk ke dalam keranjang besar yang mereka lilitkan di bahunya. Sayup-sayup, dari kejauhan terdengar suara orang memanggil-manggil:

”Miir…Amiiir…!!, seorang laki-laki separuh baya dengan kaus lusuh berlari-lari mengejar seseorang yang dipanggilnya Amir.

“Mir, tunggu sebentar..hhhh!!. Orang yang dipanggil Amir itu menoleh ke arah suara yang memanggilnya, lalu didekatinya orang tua itu:

”Abah Toha,....ada apa Bah?”, Amir menghentikan langkahnya saat orangtua bernama Toha itu mendekat. Pak Toha berkata:

” Mir, kamu ketemu si Dzul nggak siang ini?” Pak Toha masih tersengal-sengal. “Insha Allah pak, di masjid ba’da dzuhur ini, kenapa pak?” Amir bertanya sambil tangannya mempererat ikatan kardus berisi buku-buku.

“Ini, ada titipan dari non Martha buat dia, bilang sama Dzul, Abah nggak bisa ke Pesantren malam ini ya, Abah disuruh Pak Haji ke Bandung, ini buat dibawa ke pesantren Mir?. Pak Toha menyerahkan amplop ke tangan Amir sambil bertanya melihat satu kardus berisi buku-buku di tangan Amir.

Amir menjawab:”Iya Bah, buat nambah isi perpustakaan”. Amir menerima sehelai amplop besar dari tangan pak Toha, dimasukkannya ke dalam saku bajunya dan menyanggupi amanahnya. Keduanya bersalaman dan berpisah kembali pada pekerjaannya masing-masing.





Air pancuran di tempat wudhlu pria mengalir, segar terasa saat menyentuh tangan Dzulkifly. Dibasuhkannya air pancuran itu ke wajahnya dan seluruh anggota wudhlunya, sejuk, seakan-akan luruhlah segala persoalan di kepala dan hatinya dengan air itu. Selesai berwudhlu, Dzulkifli yang di kalangan teman-temannya sering dipanggil hanya Dzul itu melangkahkan kakinya ke arah masjid, Tiba-tiba seseorang memanggilnya:
”Dzul…!!!”. Amir menyimpan dus berisi buku-bukunya di teras masjid, lalu berlari kecil ke arahnya.
”Dzul, Bah Toha titip ini, katanya sih dari Martha buat antum, nih..”. Amir menyerahkan amplop putih besar itu kepada Dzul. Amir adalah teman dekat Dzul, mereka berteman sejak kecil dan bersekolah di pesantren yang sama, namun Amir tidak melanjutkan sekolahnya setelah lulus dari pesantren, sedang Dzul melanjutkan kuliah di Perguruan tinggi di Bandung.

Dzul memperhatikan amplop berwarna putih itu, ada namanya tertulis di sana dari Martha. Martha seorang kristiani yang lama telah ditinggal wafat ibunya, adalah teman Dzul dan Amir juga. Sejak kecil mereka bertiga berteman akrab. Ayah Martha seorang pendeta keturunan Belanda yang cukup dikenal di desa itu. Kesadaran tentang perbedaan agama diantara mereka sejak kecil menambah hikmah dalam suasana pergaulannya. Rasa saling menghormati keyakinan satu sama lain tidak menahan keakraban mereka. Orang tua Dzul yang notabene keluarga yang religius tidak pernah membeda-bedakan teman-teman anaknya. Seringkali Amir dan Martha makan siang di rumah orangtua Dzul. Jika bulan Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri tiba, Martha pun ikut menikmati atmosfirnya. Demikian pula ayah Martha, walaupun dia seorang pemimpin agama di gerejanya, tak pernah mempersoalkan berbaurnya pergaulan putrinya dengan warga setempat. Dia amat memperhatikan kepatutan dan kesantunan yang patut ia persembahkan kepada penduduk desa di mana ia tinggal sejak pertamakalinya.

Dzul membuka amplop itu, dan mengambil secarik kertas dari dalamnya, dibukanya lalu dibacanya surat dari Martha tersebut:

Rabu, 10 Februari 2010

Gelas-gelas Kaca Nina

Jam menunjukkan pkl.05.00, Nina sudah sibuk di dapur menyiapkan sarapan untuk suami dan ke-tiga putra putrinya. Suara alat-alat memasak yang beradu dan desis bawang merah yang masuk ke dalam minyak panas terdengar meriah dari arah kamar Dandy suaminya. Dandy berjalan menuju kamar anak-anak,dilihatnya si sulung Alya sedang bersiap membereskan buku-bukunya ke dalam tas sekolahnya, Azka putra keduanya masih terhuyung-huyung baru saja membuka mata dari tidur nyenyaknya, segera Dandy menangkapnya dari arah belakang putra laki-laki satu-satunya itu dan membawanya ke arah kamar mandi,membantunya melepas pakaiannya dan menyiapkan air hangat didalam ember.Sebelum menuju ruang makan Dandy menyempatkan mengecup anak perempuan bungsunya yang masih berumur 3 tahun, Aisha yang masih bergelung di boxnya.

Nina mengatur makanan hangat di atas meja makan, diperhatikannya tata letak piring dan gelas diatasnya agar nampak cantik dan memudahkan anak-anak dan suaminya untuk bersantap disana.Dilapnya sedikit nasi yang tercecer disamping gelas,selesai sudah semuanya sudah rapi ;
"Alyaaa......Azkaaa....sarapan dulu naak.." Nina memanggil kedua anaknya sambil berjalan menuju kamar tidurnya hendak memeriksa Aishaa yang tetap terlelap diselimuti boneka-bonekanya.

Demikian rutinitas keseharian keluarga itu selama 10 tahun, Dandy seorang pegawai BUMN, mengantar kedua anaknya yang masih di tingkat sekolah dasar setiap pagi sebelum berangkat kerja kecuali hari minggu dengan motor vespa tuanya yang setia menemaninya dari sejak masa kuliah dulu. Nina seorang ibu rumah tangga biasa yang sibuk dengan pekerjaan rumah dan sekitarnya,ditambah dengan kehadiran si Bungsu menambah aktivitasnya semakin berwarna.Tidak ada kejenuhan dalam keluarga ini karena Dandy dan Nina selalu berusaha agar hari-hari mereka senantiasa istimewa bagi ketiga mutiara hati mereka. Kemesraan dan keceriaan tak lelah-lelah mereka hadirkan di dalam rumah sederhana itu,remangnya lampu di rumah mereka karena tak mampu membayar daya listrik yang lebih besar tak mampu menutupi terangnya perasaan penghuninya yang selalu terdengar gembira, suara celoteh anak-anak dan tawa mereka setiap hari terdengar dari jendela rumah tetangga.


Hingga di suatu sore...Nina baru saja selesai memandikan Aisha dan memakaikannya baju,saat terdengar telephone berdering dari sudut ruang,diangkatnya dan disapanya: "Assalamu'alaykum...". Dari seberang sana terdengar suara gemerisik dan sayup-sayup suara orang menjawab salamnya,namun Nina merasa asing dengan suara orang itu:" Maaf, apakah saya bicara dengan Istri Pak Dandy Nugraha?". Nina menjawab dengan hati masih dipenuhi rasa heran:" Ya betul,saya istri pak Dandy, maaf saya bicara dengan siapa ya?".Suara dari seberang kembali menjawab:"Saya Iwan teman di kantor pak Dandy bu, maaf ibu tenang ya,tadi suami ibu jatuh di kantor,mungkin pusing bu,sudah dibawa teman-teman ke rumahsakit di Jl.Ahmad Yani


Nina melangkah tergesa-gesa di loby rumahsakit,mencari dimana lokasi UGD tempat suaminya dirawat,sepuluh menit kemudian barulah Nina menemukan ruangan yang dicari, nampak Dandy terbaring diatas ranjang terkulai lemas tak bergerak,hanya matanya nampak berkaca-kaca menatap ke arahnya. Nina memburu suaminya,hatinya berdebar,entah apa yang telah terjadi,selama ini didalam keluarga,Dandy orang yang paling jarang sakit. Nina tak ingin membuat suasana semakin menakutkan,bagi dirinya apalagi suaminya, rona di mata Dandy menunjukkan kekhawatiran yang dalam,maka Nina berbicara perlahan kepadanya seraya tangannya membelai tangan suaminya yang terasa tak bertenaga:"Mas tenang ya,aku nggak akan kemana-mana,anak-anak sudah kutitipkan sama Bu Mira, ini aku bawakan kaset Murottal,nanti aku nyalakan ya". Nina berusaha bersikap tenang, walau hatinya sangat galau.Dandy menunjuk dengan tangan kanannya lemah ke arah tangannya yg lain dan kedua kakinya berusaha berkata-kata namun nampak kesulitan,:"Nin, aku tak bisa...."Dandy mengucapkan tiga kata itu dengan susah payah, bibirnya nampak tak simetris lagi.Berdegup dada Nina,apakah Dandy terkena stroke...


Semalaman itu Nina menunggui suaminya sedang fikirannyapun bercabang kepada anak-anak yang ditinggal di rumah mereka terutama kepada si kecil Aishah yang masih harus ditemani jika pergi tidur,tentulah Aishah rewel malam ini,pikirnya.Namun fikiran itu tertunda lagi, ia sibuk menelpon kesana-kemari meminta bantuan orang yang bisa menolongnya.Sang adik yang tinggal di Bekasi menyanggupi untuk datang malam itu juga untuk menunggui dan mengurus anak-anaknya selama Dandy di Rumah Sakit. Setelah mendapat ruangan untuk perawatan inap bagi suaminya Nina menenangkan hatinya dengan dzikir, diambilnya air wudhlu dan mendirikan shalat di samping ranjang suaminya, diperiksanya sekali-sekali rekaman murottal yang dinyalakannya pelan untuk didengar Dandy. Dugaan nina semakin kuat jika suaminya terkena stroke, di usianya yang sudah kepala empat bukan mustahil Dandy bisa terkena penyakit itu, walau Nina tak menduga akan separah itu.


Keesokan harinya setelah serangkaian pemeriksaan laboratorium dan CT Scan dilakukan,dokterpun memastikan penyakitnya.Walau dicobanya untuk tegar,tak urung Nina tersentak juga penyakit stroke yang menimpa suaminya tergolong serius,ada pembuluh darah yang telah pecah di bagian otak suaminya, dokter memberikan beberapa gambaran tentang penyakit itu kepadanya, agar Nina dan keluarga siap dengan segala kemungkinan,walau tetap saja Nina merasa dunianya kini terasa sesak.


Dua belas hari sudah Dandy dirawat di Rumah Sakit,namun tak ada tanda-tanda dia dapat menggerakkan walau jarinya sekalipun.Lumpuh tak berdaya,apapun dilakukan di atas tempat tidur dibantu Nina,hanya Nina.Nina tak memperkenankan orang lain membantu dan membersihkan suaminya kecuali untuk urusan pemeriksaan dan pengobatan. Nina saja yang menyeka badan suaminya setiap pagi dan sore,membersihkan kotorannya, memasangkan pakaian, menyuapinya makanan dan minuman, menata side table-nya serapih mungkin, memasangkan bunga di atasnya yang khusus ia pesan kepada teman yang menengok suaminya. Hingga keluarga tak mampu lagi menanggung biaya rumah sakit yang semakin membengkak,maka diambillah keputusan membawa Dandy pulang untuk dirawat di rumah.Hingga saat itu Nina amat bersyukur, biaya rumah sakit yang cukup besar itu ditanggung sebagian oleh perusahaan tempat Dandy bekerja, walau ia harus merelakan seluruh perhiasan emasnya terjual untuk menutup sisanya.Maka pulanglah kembali mereka ke rumah dimana sedang menunggu tiga buah hati yang mereka rindukan.


Jam dinding menunjukkan pukul 10.15 malam itu,namun Nina tak bisa tidur bahkan ia berusaha untuk menahan kantuknya, setelah membuatkan susu untuk Aishah dan membenahi selimut suaminya, Nina duduk di atas meja makan,di atasnya terdapat beberapa Vas bunga dan botol-botol cantik yang diselimuti mozaik keramik, benaknya menyimpan banyak rencana. Selama berumah tangga bersama Dandy, Nina memang memiliki kegemaran membuat barang-barang cantik dari barang-barang bekas. Botol-botol kaca bekas kecap, saus, toples bekas, gelas bekas dan sebagainya ia gunakan sebagai "kanvas" lalu melukisnya dengan berbagai macam warna dari cat minyak. Dulu, ia selalu bisa menyisihkan uang belanjanya untuk membeli cat-cat minyak itu untuk menyalurkan hoby melukisnya. Semakin lama, semakin banyak barang-barang bekas yang tak luput dari keterampilan tangannya, ia sulap menjadi barang-barang cantik di rumahnya untuk ia tata dan memajangnya di atas credenza atau lemari kacanya, sehingga siapapun yang datang ke rumahnya selalu mengagumi karya-karya cantiknya yang membuat rumah yang sederhana itu menjadi nampak artistik.

Kini ia kumpulkan barang-barang koleksinya itu di atas meja makan, yang setelah dihitung-hitung ternyata cukup banyak untuk bisa diikutkan dalam sebuah pameran yang akan digelar dua minggu ke depan. Tetangganya Ibu Anis telah berbaik hati menawarkan kesempatan kepadanya untuk memajang karya-karyanya dalam sebuah pameran di counternya di sebuah mall di Tangerang. Ibu Anis sendiri sering ikut pameran memajang tanaman-tanaman langka dan maha.Nina tak ingin membuang kesempatan,setelah beberapa kali pembicaraan dengan tetangganya itu, disepakati Nina akan membawa 50 buah koleksinya untuk dijual di pameran tersebut.Berdebar-debar hati Nina,dalam sujudnya ia mencurahkan seluruh harapannya:" Allahumma ya Allah....ini kesempatan pertamaku...Engkau Maha Mengetahui ikhtiarku ini,bukanlah sekedar pelampiasan kegemaranku lagi saat ini,Engkau sedang Mengasihi suami hamba,Setelah Engkau anugrahi kesehatan bertahun-tahun lamanya dia tak berdaya kini,kutitipkan jiwa dan raganya yang kepunyaanMU kepadaMU ya Allah wahai sebaik-baik yang dititipi, demikian pula anak-anak kami,anugrahmu yang lemah yang kepada hamba lah tumpuan harapan mereka kini.Maka hamba memohon kepadaMU wahai yang menggenggam semesta alam ini, kemurahanMU di dalam segala urusanku. Minggu depan hamba ikut pameran ya Allah, mudahkanlah bagiku rezeky kami sekeluarga,Allaahumma Aamiin. Nina mengusap wajahnya dan tetesan airmata di pipinya, kepalanya menoleh,matanya menatap wajah Suami dan anak-anaknya yang tertidur lelap, hatinya merintih mengharap kemurahan Tuhannya.


Masih ada waktu tiga hari menjelang digelarnya pameran di kotanya,namun hati Nina sudah merasa senang,diucapnya syukur berkali-kali,setiap dia menjemput anak-anaknya dari sekolah karena dagangan Es Lilinnya yang dititipkan setiap hari di kantin sekolah anaknya laris manis hari itu. Cuaca panas di Tangerang saat ini memang cocok untuk usaha dagangnya saat ini. O ya, Nina memang sudah merintis berjualan es lilinnya dua hari setelah Dandy dibawa pulang dari rumahsakit. Nina membuat es yang terbuat dari campuran susu dan coklat atau strawbery dibantu Alya anak sulungnya setelah jam pulang sekolah, dimasukkannya ke dalam kulkas dan dibawa keesokan paginya dengan termos es yang khusus ia beli untuk dibawa dan dititipkan di sekolah Alya sambil mengantar Alya dan Azka sekolah.Nina membawa termos es itu di motor vespa suaminya yang kini terpaksa diakrabinya.Walau susah payah mengendarai motor tua besar itu, Nina masih dapat bersyukur,Allah menghendaki mereka masih memiliki kendaraan untuk membantu mereka beraktivitas. Saat menerima uang setoran dari kantin sekolah anaknya,Nina bergumam:" Ya Allah,semoga ini salah satu pertanda baik dari MU". Nina pulang bersama kedua anaknya dengan hati riang di atas motor vespanya,walau hampir saja ia menyenggol abang tukang sayur di belokkan menuju rumahnya,setelah meminta maaf ia injak kembali pedal gas motornya dan tersenyum geli mendengar sayup-sayup umpatan si tukang sayur dari kejauhan.


Hari "besar" itu tiba,Nina mematut diri di depan cermin,lalu memasukkan beberapa berkas ke dalam tasnya. Digendongnya Aishah yang selalu membuntutinya, Nina mengambil bantal yang tersenggol tangan Dandy dan meletakannya di atas kasur dimana Dandy sudah nampak segar sehabis ia mandikan pagi ini."Mas sarapan dulu ya,aku ambilkan nasinya". Nina melirik ke arah jam dimeja,masih ada waktu pikirnya. Diletakkannya Aishah didekat Dandy membiarkannya bercengkrama dengan ayahnya yang sedang sakit itu. Nina mengambil sepiring nasi bersama dengan lauk yang telah ia masak sejak subuh tadi,diambilnya kursi dan meletakkannya di pinggir ranjang lalu menyuapi suaminya,Aishah tertawa-tawa di pangkuan lemah Dandy. Sambil menyuapkan makanan ke mulut suaminya Nina berkata :"Mas, jam 8 ini aku berangkat ya,pake mobil bu Anis,barang-barang sudah disimpan di ruang tamu.Bagaimana, ada lagi yang Mas perlukan? aku sudah titip pesan sama mbok Parni siapkan makan siangmu, nanti Aishah biar Alya yang asuh,dia kan libur. Sering-sering telpon aku ya Mas kalau Mas kangen..."Nina mengedipkan matanya sambil tersenyum kepada Dandy,membuat Dandy berbesar hati melepas istrinya pergi,walau terbersit kesedihan di hatinya melihat istri yang dikasihinya kini harus berjuang untuk keluarga mereka.
Terdengar kesibukan di ruang tamu,Ryan anak Ibu Anis mengangkat barang-barang yang telah dibungkus rapih Nina ke dalam mobil. Nina masuk kedalam kamar menemui suaminya:"Mas, aku pergi sekarang do'akan ya",Nina mengambil tangan Dandy ,diciumnya dalam-dalam ditempelkannya di dahinya sebagai penghormatannya yang tulus memohon keridhoan suaminya. Dandy mengangguk pelan,:"Hati-hati ya dik".


Hari terasa berjalan lambat, pameran yang ditunggu-tunggunya tak seperti yang ada dalam bayangannya. Banyak sekali stand dan counter-counter yang memajang produk-produknya, demikian pula pengunjung yang datang di dalamnya, akan tetapi orang-orang hanya memperhatikan sekilas gelas-gelas cantik miliknya. Mata mereka tidak bereaksi seperti reaksi tamu-tamu yang datang ke rumah Nina. Mereka hanya melihat-lihat sebentar lalu berlalu begitu saja. Sudah lima jam seperti itu, hanya satu dua orang yang mau berdiri agak lama dan menanyakan harganya kepada Nina, tapi sama dengan sebelumnya akhirnya mereka pergi, berganti melihat-lihat stand lain. Nina menghela nafas dalam-dalam:" ya Allah,sibukan hamba denganMU,semua ini atas kehendakMU,Hasbunallah ni'malmaula wa ni'mal wakiil" demikian berulang-ulang Nina membasahi hatinya dengan kalimat-kalimat dzikir membuatnya menjadi lebih tentram.


Hari-hari berlalu,Nina tak patah semangat,dalam waktunya yang padat mengurus suaminya yang sakit,anak-anaknya yang masih kecil serta usaha berjualan es dan Handycraftnya dia terus berusaha menebarkan kegembiraan kepada keluarganya.Sambil mengisi plastik dengan es buatannya Nina selalu menyajikan dongeng-dongeng khayalannya untuk putra-putrinya yang tiduran diatas tikar disampingnya. Atau mengajak bercanda Dandy saat ia menggantikan pakaian suaminya yang lumpuh itu. Nina tidak akan merasa sedih jika harus kehilangan waktunya untuk beristirahat agar Dandy bisa diajaknya berlatih duduk dan berdiri atau meremas-remas bola karet untuk melatih syaraf-syaraf motoriknya. Atau menerangkan kepada Azka dan Alya betapa fantastisnya pemandangan saat bunga Matahari di kebun Pak Matoala sedang mekar, atau saat melihat kumbang mengisap sari bunga dipinggir selokan, atau saat air meluap waktuhujan di depan rumah mereka.


Nina melonjak gembira,pagi itu ia mendapat telepon dari Bu anis tentang koleganya yang hendak memesan produk-produk buatannya yang ia lihat saat pameran tempo hari,tidak tanggung-tanggung ia memesan 50 buah toples cantik dengan warna bervariasi diserahkan kepada Nina modifikasinya sementara down paymentnya akan dikirim separuhnya ke rekeningnya dan siang ini juga pemesan akan datang ke rumahnya untuk bernegoisasi. Berbarengan dengan itu, salah seorang atasan suaminya yang menjenguk mereka kemarin juga berjanji akan mengirim tongkat khusus untuk penderita stroke sore ini. Nina meletakkan teleponnya, lalu menyungkur sujud,mencurahkan segala puja dan puji kepada Tuhannya,bersyukur atas kesempatan ini:" Ya Allah, Tuhan...Engkau dengar itu...mereka memesan barang-barangku ya Allah,terima kasih...terima kasih ya Allah". Nina menyeka air matanya dan segera bangkit, berlari kecil menuju kamar untuk mengabarkan berita gembira ini kepada suaminya.


Pesanan itu akan diambil dalam waktu satu minggu,tak membuang waktu,segera Nina menyiapkan bahan-bahan untuk produk pesanan pertamanya,seisi rumah merasakan semangatnya,oleh karenanya Dandy berusaha untuk tidak "terlalu mengganggu" istrinya, ia seolah memiliki extra spirit untuk dapat mandiri lebih cepat,diam-diam Dandy sering berlatih sendiri menggerakkan syaraf dan otot-ototnya baik di tangan,kaki atau pun wajahnya.Ia tahu, ini akan menjadi hari-hari yang melelahkan untuk Nina seiring dengan berdatangannya pesanan dagangannnya.


Sudah lima hari,Nina menekuni gelas-gelas kacanya,membuat pola, mengecatnya, membiarkannya kering lalu menambahkan beberapa ornamen cantik di atasnya,untuk menambah inspirasinya Nina rajin mengamati gelas-gelas kaca pabrikan dari beberapa toko saat menjemput Azka dari sekolahnya,lalu memindahkan visinya ditambah dengan banyak imajinasinya tentang paduan warna-warna indah di alam. Metamorfosa yang mengagumkan, toples biasa yang nampak "dingin" dalam sentuhan tangan Nina menjadi Maha Karya yang indah.

Masih 12 buah toples kaca yang belum Nina rampungkan dan Ninapun masih bersemangat saat dirasanya Alya agak berbeda pagi itu,Alya sedikit meringis memegang kepalanya :"Mama...kepala Alya sakit".Nina meraba dahi putri sulungnya itu,panas. Nina mengambil thermometer dikamarnya untuk mengukur suhu badan Alya,ternyata benar suhu badannya mencapai 38.5"C. Memang sudah dua hari ini badan Alya agak hangat,namun anak itu masih nampak ceria bermain dengan teman atau adik-adiknya.Hari ini tak bisa ditawar lagi,Nina menghentikan pekerjaannya,digendongnya putri shalehah kesayangannya yang sering membantunya membuat eslilin untuk dijual di sekolahnya itu:" Kemari shalehah,mama gendong..anak mama yang cantik ini sakit ya,Ya Allah..Alya sakit,Ya Allah..Alya suka bantu Mama,Alya anak yang baik..sayangi Alya ya Allah". Nina membisikkan do'a itu dekat di telinga Alya dalam gendongannya. Dibaringkannya Alya di atas kasur,Nina mencari obat penurun panas didalam kotak obatnya,diberikannya satu tablet untuk Alya.
Di atas ranjangnya Alya menatap wajah mamanya lama, Nina tersenyum kepada putrinya:"Apa yang terasa sekarang nak? sabar ya sayang..."Nina mengusap-usap kepala putrinya lembut. Alya tak menjawab pertanyaan ibunya,bahkan ia balik bertanya dengan suara kecilnya:"Mama, Mama bilang Allah itu baik,sayang sama kita, tapi kenapa Allah kasih Alya sakit? kenapa Papa juga dikasih sakit nggak bisa jalan lagi?".Nina tercenung menatap putrinya,pertanyaan kanak-kanak biasa,tetapi jika disampaikan dalam keadaan Alya terbaring sakit seperti ini dan suami yang tak segagah dahulu lagi,Nina perlu menata hatinya sejenak yang terasa disapu sutra berduri:"Sayang, Allah memang Sangat Baik, Allah kasih Papa sakit sebentar supaya Mama bisa ketemu Papa setiap hari,pagi,siang,malam. Supaya Mama bisa suapin Papa seperti Mama suapin Alya,de Azka sama de Aishah...kan Mama sayang kalian,sayang Papa juga. Kalau Papa sama Alya dikasi sakit,dosa-dosa Papa dan Alya nanti Allah hapus kalau Papa sama Alya nya sabar". Alya terus menatap Nina,sebelum akhirnya tertidur.Nina menempelkan kompresan air hangat di dahi Alya,dan sambil menahan serangan kantuknya ia kembali menekuni gelas kacanya.


Demikian,berbulan-bulan, bertahun-tahun kehidupan Nina penuh dengan romantika. Namun semua itu mampu dihadapi Nina dengan tabah Tak terasa pada tahun kedelapan bisnis Nina di bidang produksi barang-barang terbuat dari kaca semakin berkembang,kini ia telah memiliki galery sendiri yang ia bangun di garasinya.Rumah mereka yang terletak di lokasi yang tidak terlalu ramai tidak menghalangi berdatangannya pelanggan-pelanggannya. Demikian pula atas pendampingan Nina yang tulus atas keadaan suaminya,membuat Dandy semakin mandiri,walau kedua kakinya masih tak mampu berjalan,namun dengan kedua tangannya dia mampu kembali bekerja sebagai seorang programer untuk mengerjakan beberapa proyek-proyek.


Nina masih belum tidur malam itu,ketika Alya yang telah menjelma menjadi gadis dewasa menghampirinya dan membaringkan kepalanya di atas pangkuannya:" Mama, satu minggu lagi Alya menikah,Alya takut Ma...Alya takut nggak bisa seperti Mama".Alya berbicara pelan. Nina mengangkat wajah putrinya dan menatapnya lekat, walau besok lusa dia akan menikah menjadi "milik" suaminya, Alya tetaplah Alya "bayi cantik" yang dicintainya dan terasa berat menyadari bahwa tak akan lama lagi anak ini akan dibawa suaminya jauh dari pelukannya:"Anakku sayang....kita tak perlu takut tidak bisa menjadi sesuatu, lihat gelas-gelas kaca Mama...gelas-gelas itu benda yang sangat rapuh, tersenggol sedikit dia akan jatuh dan pecah. Tapi kamu ingat nak, dari gelas-gelas yang rapuh itulah Allah "mengangkat" nasib keluarga kita. Mama melukisnya menjadi benda yang indah agar orang-orang mau membelinya.Dari sana Mama bisa membeli obat untuk Papa,kursi rodanya, biaya sekolahmu dan adik-adikmu, biaya makan kita dan bahkan untuk pernikahanmu nanti Nak. Hanya dengan mau sedikit bersyukur, apapun pemberian Tuhan dalam segala bentuknya pasti bisa kau muliakan dan manfaatkan. Jaga hatimu tetap bening ya Nak,seperti gelas-gelas kaca Mama". Kedua hamba-hamba tuhan itu, ibu dan anak itu saling menatap, ada bulir-bulir mutiara di mata mereka, Bening sebening gelas-gelas kaca Nina



Bogor 12 Februari 2010-Winny

Senin, 08 Februari 2010

Air Mata Kami di Pagi Kamis 17 Desember 2009.....




Ibunda kami ..........Nenek dari anak-anak kami.............
Telah sampai pada akhir perjalanannya.......................


Di dalam tahun-tahun terakhir kehidupan beliau yang ditemani derita sakit di tubuh lemahnya
Serta diiringi berbagai perpisahan dari orang-orang terkasihnya......
Beliau masih setia bertahan dalam sujud-sujud panjangnya di keheningan Malam ataupun di keteduhan Dhuha........
Mengharap belas kasih Tuhannya.......yang tentu nama kami anak-anaknya merupakan barisan terdepan dalam untaian do'a-do'anya................


Selalu demikian...sejak kami dilahirkan.....
Nama kami disebut dihadapan Tuhan..lebih dahulu dari nama beliau sendiri..........karena cintanya...



Dengan segala kelebihan dan kekurangan Ibu sebagai manusia.........Ibu tetaplah Ibu kami yang menyayangi dan mencintai kami anak-anaknya...........
Tidak pernah cukup waktu dan harta benda.......seberapapun kami berusaha untuk menggantinya............



Setiap tetes air susu Ibu yang kami isap.......tumbuh menjadi darah dan daging kami
Setiap keringat Ibu yang menetes.........dari lelah mengurus, merawat dan menjaga kami.....



Setiap titik air mata Ibu..........dari setiap kesedihannya merasakan penderitaan kami diwaktu kami demam tinggi..... atau jatuh terluka kaki kami...atau direbut anak lain mainan kami.....atau rewelnya tangis meminta apa yang tak bisa beliau beli.....atau....saat suara kami meninggi mengabaikan keinginannya, melawan kehendaknya.......atau saat kami mulai memilih teman hidup..yang disadarinya kami akansegera meninggalkannya.........



Dan dari setiap bahagianya untuk kebahagiaan kami......yang untuk itu beliau tak pernah berhenti berusaha dan berdo'a....



Tuhan.....Allah Tuhan Kami yang Maha Dekat dan Maha Penyayang......
Engkau Perintahkan kami untuk berbakti kepada ibu kami selama hidup kami di sisi beliau....
Tetapi betapapun kami berusaha melaksanakannya.......keikhlasan kami tidak akan pernah bisa menyamai keikhlasannya dalam merawat kami........




Ya Allah,Apapun yang hilang dari hak Ibu atas bakti kami......semoga Engkau mengampuni kami...
Biarlah....Allah sendiri yang akan Menggenapi.....Mencukupi.....Membalas setiap mutiara kasih sayangnya kepada kami dengan Mutiara yang lebih baik didalam lautan Kasih SayangMU...


Ya Allah Tuhanku ....Ampunilah Ibu ...........Bahagiakanlah Ibu..........


Didedikasikan untuk Al-Marhumah Ibu Hj.Ayi Sumiyati (72 th) Ibunda dari Suami yang saya hormat dan sayangi Elan Suherlan Karnadimadja. Semoga apa yang terserak di dunia ini, Allah kumpulkan bagi Ibu di Akhirat kelak....Aamiin

Persembahan Terakhir

Pada suatu hari di daerah Bandung bagian selatan, seorang ibu tua dengan berjalan terseok-seok, membawa tubuhnya yang ringkih karena penyakit reumatik yang dideritanya bertahun-tahun ….seperti hari-hari sebelumnya selama belasan tahun berkeliling dari perumahan satu ke perumahan yang lain, kadang-kadang menyusuri pemukiman kumuh melewati gang-gang sempit menjual makanan hasil olahannya sendiri ‘Gemblong’ namanya makanan daerah terbuat dari tepung ketan hitam dibalut gula merah, yang disimpan di dalam sebuah baskom kaleng berukuran besar. Dibawanya diatas kepalanya yang beralas kain sambil meneriakkan dagangannya di setiapkali melewati rumah-rumah atau tempat-tempat dimana terdapat ramai orang.


Kulitnya yang berkerut dimakan usia dan menghitam terbakar matahari setiap hari, menunjukkan ketabahannya menjalani taqdir yang dikehendaki Tuhannya. Hidup sebatangkara di rumah kontrakan sangat sederhana yang ia bayar sendiri dari penghasilannya berjualan gemblong. Anak laki-laki satu-satunya sudah sangat lama tak pernah lagi menjenguknya atau sekedar menanyakan kabarnya sejak meninggalkannya merantau ke Papua bertahun-tahun yang lalu. Sedang seorang anak perempuannya , walau tinggal sekota tidak dapat menolongnya karena kerasnya kehidupan yang menghimpitnya. Maka tinggallah sang Ibu sebatangkara di tengah ganasnya persaingan usaha mencari nafkah untuk kehidupan. Bertahan dengan penyakit yang ia derita karena tak sanggup untuk membayar dokter untuk berobat,walau jarak rumah kontraknnya ke puskesmas hanyalah dua puluh langkah saja.



Hari itu hari yang sama dengan hari-hari sebelumnya, matahari tepat di atas ubun-ubunnya… panas menyengat kulit tangannya yang memegang erat dagangannya dan menempel di pinggangnya. Gemblong jualannya masih tersisa separuhnya. Langkahnya gontai…semakin lama semakin lemah,hingga terduduk ia di pelataran masjid besar di sebuah perumahan. Dibelinya segelas minuman mineral yang terasa kesat di lidah tuanya. Dalam sisa tenaganya, sang ibu tua penjual gemblong itu melangkah perlahan mengambil air wudlunya, perutnya belumlah terisi nasi sejak pagi, hanya sebuah gorengan dan lontong dari warung langganannya yang sanggup ia beli. Kepalanya sedikit pusing,sesuatu hal yang sudah biasa ia rasakan sejak muda…maka tak ia hiraukan. Tetapi tubuhnya semakin lemah saja,maka sembahyang pun ia lakukan sambil terduduk di sudut belakang masjid.



Tak seorang pun jama’ah masjid yang memperhatikan perempuan itu, kecuali seorang bapak tua penjaga mesjid yang setiap hari merawat dan membersihkan masjid *Marbot Masjid*. Ia sudah sangat mengenal perempuan tua itu karena setiap dzuhur ia selalu shalat dan beristirahat di tempat itu. Bapak marbot tersebut memperhatikan sang ibu tua yang masih terduduk bersandar di dinding masjid. Mukenanya belumlah ia lepaskan,namun saat ibu penjual gemblong itu melihat bapak marbot sedang melihat ke arahnya,dengan lemas ia berusaha melambaikan tangannya meminta supaya dia mendekat. Rupanya bapak marbot itu menangkap maksudnya,maka diapun mendekatlah.



Tak lama setelah bapak marbot itu berada dihadapannya,si ibu berkata kepadanya:”Bapak yang baik, bolehkah saya meminta tolong Bapak sekali ini saja?”. Bapak penjaga masjid itu terdiam,ia mengira si ibu penjual ini sedang tidak enak badan :”Baik Ibu, Ibu ada keperluan apa?”
Ibu tua itu mengeluarkan sesuatu dari balik mukenanya, selembar uang Lima Ribu Rupiah,lalu diserahkannya kepada bapak itu dan berkata:”Saya menitipkan kepada bapak uang ini untuk Sari di kampung Baru dekat sini,bilang sama dia jualan saya belum habis terjual,saya Cuma bisa kasih segini.Tolong ya pak,dia butuh uang ini”.
Bapak marbot menerima uang selembar uang Lima Ribu rupiah itu dengan hati bertanya-tanya,namun saat ia akan bertanya lebih lanjut kepada ibu penjual gemblong tersebut,sang ibu sudah terpejam matanya,nafasnya tiada lagi. Innalillaahi wa innaailaihi raaji’uun…sang penjual sederhana tersebut rupanya telah wafat,masih terbungkus pakaian sembahyangnya.



Tiga hari setelah wafatnya Ibu penjual gemblong itu,Bapak marbot mencoba melaksanakan wasiatnya. Ia pergi menuju tempat yang ditunjukkan sang penjual. Seharian ia mencari, bertanya kepada orang-orang dimanakah wanita bernama Sari itu tinggal. Akhirnya,setelah pencarian yang melelahkan bertemulah ia dengan wanita yang dimaksud.



Berceritalah bapak penjaga masjid itu kepada Sari pertemuan terakhirnya dengan Ibu penjual gemblong itu di masjid. Maka meledaklah tangis wanita yang bernama Sari itu. Marbot bertanya dengan hati-hati:”Maaf Nak, apakah Ibu itu ibumu?”
Sari kembali tersedu,namun ia menggelengkan kepalanyalalu ia berkata:” Bukan pak,bukan ibu kandung saya, tapi saya menganggap beliau ibu saya sendiri. Kami sama-sama hidup dalam kekurangan,Ibu kasihan kepada saya karena anak saya banyak,suami saya meninggal karena kecelakaan dua tahun yang lalu. Setiap hari, Ibu itu datang ke tempat saya dan memberi saya uang Sepuluh Ribu rupiah,katanya untuk nambahin keperluan anak-anak. Waktu saya tolak,karena saya tahu ibu pun orang miskin, beliau menjawab: ”Nak Sari, biarlah ibu bisa menabung sedikit kebaikan dari rejeki ibu.Ibu kepingin ketemu Tuhan nak.Kalau ibu kasih uang ini buat anak-anakmu,mudah-mudahan Tuhan “seneng” dan mudah-mudahan Tuhan pengen ketemu sama Ibu nanti”.



Sari tak kuat lagi menahan tangisnya,begitupun sang marbot tua itu. Rupanya, di hari wafatnya,ibu itu masih berusaha menggapai cita-citanya ingin bertemu Tuhan kelak dengan mensedekahkan hartanya yang sangat sedikit dalam perhitungan manusia walau hanya dengan separuh penghasilannya.



Semoga engkau benar-benar sudah bertemu Tuhan, Ibu.




*Terinspirasi dari sosok yang benar-benar ada dan saya kenal di Bandung*


Bogor 2 Februari 2010

...Lihat Albumku,Tuhan...

Tuhanku.......


Hari ini bukan hari ulang tahunku, bukan ulangtahun suamiku, bukan pula anak-anakku. Tetapi,tidak harus pada hari ulang tahun orang mentafakuri perjalanan hidupnya.


Aku mencoba membuka "Album kenangan hidupku", kuamati satu persatu, dan kudapati "gambar-gambarnya" yang beraneka tema dan cerita. Mulai gambar2 masa kecilku hingga masaku kini, dan mencoba membayangkan akan seperti apa gambaranku nanti.


Aku tercenung...... menatap satu potret di tengah halaman "albumku" itu...."Selembar foto" masa belasan tahunku, hidup di dalam idealisme yang kutemukan disaat-saat pencarianku akan makna kehidupan. Dimana hal ini pernah membawaku pada kegairahan untuk bekerja bahkan berjuang demi sirnanya haus jiwaku akan sesuatu yang kuanggap kebenaran.


Idealisme yang tumbuh, yang diawali oleh rindu hatiku kepada Tuhan yang Mencipta segala sesuatu.

Selama masa itu,segala gelombang kehidupan kuhadapi dengan gigih dan kekuatan ide yang kupegang teguhi. Bahkan sampai pada fase dimana secara sadar,kubawa anak-anakku...,buah hatiku hidup di dalam lingkarannya.


Bertahun-tahun kujalani kehidupan itu....,hingga pada suatu titik,dimana hatiku bertanya...."Dimana Tuhan yang kucari? ....Yang untuk itu kujalani hidup dengan tabah....
Mengapa hanya simbol-simbolNYA saja yang ditinggikan, sedang kepada DiriNYA aku merasa semakin jauh.


Belasan tahunku berganti menjadi kegundah gulanaan. Adakah idealisme yang dipancangkan di atas dasar kebenaran,justru menjauhkan insan dari Penciptanya dan dari tuntunan utusanNYA....???


Adakah Kebenaran yang mengajarkan kemuliaan akhlaq,justru menjauhkan insan dari menyayangi sesamanya.....


Tersungkur dalam sujud dan air mata, do'aku...............Kiranya Tuhan menunjukkan padaku Kebenaran itu.
Kebenaran yang hakiki, bukan idealisme yang angkuh, idealisme yang dipimpin oleh nafsu, idealisme yang haus kekuasaan, yang memandang manusia lain lebih rendah dan sesat ,yang karena itu merasa memiliki musuh dimana-mana.....


Tersadar aku...Bahwa manusia membutuhkan pembimbing........
Namun bukan pembimbing yang penuh otaknya dengan isi kitab-kitab agama atau "berbuih" mulutnya dengan Nash2 Al-Qur'an dan Hadist.


Manusia membutuhkan Pembimbing yang Allah sendiri yang memilihnya bagi mereka dan lalu penerusnya yang berhak dan sah hingga akhir zaman.......


Kutatap albumku......Semua tentang perjalananku....
Perjalanku yang merindukanMU Tuhan, yang untuk itu kuhabiskan waktuku mencariMU.........


Terima kasih Allah Tuhanku, bersama Sang Pembimbing, harapku.....Tak lama lagi...,dapat selamat berjumpa dengan MU......aamiin


*Sebuah pengalaman pribadi*

Permata Sejati


Angin laut masih berdesir, membelai-belai dedaunan pohon-pohon kelapa di pesisir laut Jawa, ombak-ombak kecil dan besar bergulung-gulung menghempas batu-batu karang, dan Yasmin pun masih berdiri disana, diatas kelembutan pasirnya. Kerudung putihnya melambai-lambai dipermainkan angin, sesekali diperbaikinya tutup kepalanya itu jika telah mengganggu pandangannya yang jauh ke tengah laut.
Seakan-akan, nampak jauh disana peristiwa dua tahun yang lalu, saat-saat di mana peristiwa itu telah meninggalkan bekas di hatinya. Peristiwa yang tak pernah masuk di dalam barisan do’a-do’anya dahulu,namun ternyata hati yang “besar” akan sanggup menampung seberapapun kenyataan hidup,seperti yang dialaminya……

Yasmin… Mahasiswi sebuah perguruan tinggi di Jakarta, berasal dari Aceh. Tinggal merantau jauh dari orang tua, namun mampu menjaga kehormatan dirinya, wanita muda yang anggun dan sederhana,berkhidmat pada pesan kedua orang tuanya untuk bersungguh-sungguh menuntut ilmu di “kampung” orang. Menyewa sebuah kamar kost sederhana bersama kawan perempuannya satu fakultas Dista.

Pertemanan mereka berkembang menjadi persahabatan. Satu sama lain saling membantu, saling menolong, walau terkadang adakalanya terjadi perbedaan pendapat, namun hal itu tidaklah mengganggu persahabatan mereka.
Pagi itu seperti biasa, Yasmin telah berada di kampusnya untuk mengikuti perkuliahan pagi dari dosennya. Tiba-tiba,dari arah belakang seseorang menepuk pundaknya,”Dista..?”.
Dista tersenyum sambil membetulkan tali tas punggungnya. Yasmin memperhatikan sesuatu yang berbeda;
”Dista….., kamu lagi seneng ya pagi ini?”.Tapi Dista hanya mengacungkan telunjuknya menempel di bibirnya:” Ssssttt…..”.
Yasmin mengangkat alisnya, namun dia membiarkan Dista dengan misteri nya.Merekapun melangkah ke dalam kelas untuk mengikuti perkuliahan.

Dua jam berlalu tanpa kesan apapun, mahasiswa keluar dari ruangan perkuliahan satu persatu. Yasmin dan Dita pun berjalan beriringan, hanya sesekali,sesekali yang nampak seringkali bagi Yasmin, Dista memeriksa pesawat Handphone-nya, atau mengetik sesuatu melalui smsnya. Kampus yang ramai, namun sepi bagi Yasmin karena sejak tadi Dista seolah-olah sendirian, sibuk dengan HP-nya, walau bersama Yasmin di sampingnya.

Seolah-olah dikomando, tanpa perjanjian langkah kaki kedua gadis itu mengarah ke arah bangku taman di dekat kolam, tempat favorit keduanya saat menunggu jam kuliah berikutnya.
Begitu keduanya duduk di bangku itu, Dista sudah akan memeriksa lagi pesawat HP-nya,namun sebelum jarinya menyentuh keypad, Yasmin menahan tangan Dista lembut dan tersenyum sambil berkata : ”Halloo….apakah Dista masih disitu?”. Dista menolehkan wajahnya dan melihat Yasmin dengan wajah penuh tanda tanyanya . Dista tertawa :”Hihihi….penasaran nih yee”. Tapi Yasmin tetap menahan tangannya di lengan Dista. Dista berkata:” OK…OK, aku lupa punya one curious girl di kampus ini hehe.Tapi janji yaa, ini cuman di antara kita aja”. Dista lalu bercerita dengan suara perlahan seolah-olah tak ingin diketahui rahasianya oleh orang banyak .

Malam itu, Yasmin di kamarnya sendiri duduk di atas meja mengerjakan beberapa tugas dari dosennya. Dista sudah 3 hari cuti pulang sementara ke tempat asalnya di Yogya. Jarum jam sudah menunjukkan angka 11, namun mata Yasmin tak hendak beristirahat. Dibiarkannya waktu berjalan yang terasa lambat, dicobanya untuk menikmati sayatan-sayatan kecil di hatinya yang masih agak terasa perih. Dikenangnya lagi pembicaraannya dengan Dista di kampus beberapa hari yang lalu tentang rahasia kecilnya. Tentang seorang pemuda, satu kampus dengan mereka, yang menjadi asisten dosen mereka selama ini dan juga ketua Rohis di kampus, yang Yasmin “kagumi”selama 1,5 tahun ini namun ia simpan itu sekedar sebagai sebuah semangat saja. Pemuda itu, di saat-saat Yasmin bersimpati dan menaruh sekuncup harapan, ternyata telah melabuhkan harapannya sendiri terlebih dahulu kepada sahabatnya Dista. Ya, Syam - yang Yasmin kagumi kepintarannya, keshalehannya,- yang Yasmin “melihat’ dari kejauhan kerinduannya akan gambaran-gambaran tentang rumah tangga yang sakinah, mawadah warahmah akan lebih berseri seandainya jika perahu itu didayungi bersama Syam, pemuda yang seringkali pula membantunya dalam beberapa event di kampus yang karenanya sempat pula Yasmin mensyukuri kebersamaan itu, pemuda yang ternyata kini telah memilih Dista untuk menjadi pendamping hidupnya.

------

Berita “gembira” itu, dikabarkan Dista dengan tenang, namun terasa bagai halilintar di telinga Yasmin."Dia melamarku tadi malam Yasmin." Berdetak kencang hati Yasmin, mengapa ia harus mendengar "Happy Ending" ini, mengapa ia tidak sensitif selama ini jika Dista sering menceritakan Syam kepadanya di kamar mereka,di kampus atau dimana saja setiap mereka pergi bersama. Yasmin mengira Dista hanyalah fans Syam belaka yang sering merasa tersanjung oleh perhatian pemuda itu,hanya saja berbeda dengan Yasmin Dista lebih ekspresif mengungkapkan ketertarikannya. Sementara dirinya hanyalah seorang gadis pemalu yang tak mungkin akan mengumbar kegembiraannya setiap saat ia merasa Syam memperhatikannya. Namun Yasmin bukanlah gadis yang dengki, berita sebesar apapun tidak akan menggoyahkan kelembutannya dalam bersikap. Bahkan Yasmin memeluk Dista erat, membisikkan do’a yang tulus di telinga sahabatnya dan tersenyum tanda turut bergembira untuk kebahagiaannya:" Selamat ya Dis, aku tahu dia laki-laki yang baik, shaleh dan pantas mendapatkan gadis seperti kamu. semoga pernikahan kalian diberkahi Allah, aku ikut senang". Mata Yasmin berkaca-kaca menatap Dista, ia ingin Dista menduga itu adalah air mata bahagianya walau sesungguhnya kepedihan telah bersenyawa didalamnya. Mereka berdua akhirnya tertawa-tawa

Yasmin menekur di muka monitor, menatap beberapa foto yang diambil saat pelaksanaan acara Bedah Buku di kampus, ada salah satunya foto dirinya, Dista dan Syam dengan latar belakang mesjid kampus.Semua tersenyum dalam foto itu, seharusnya menjadi kenang-kenangan yang indah menurut Yasmin, tetapi mengapa air mata itu jatuh di pipinya, semakin lama semakin tercurah, pundak Yasmin berguncang pelan, terdengar suara terisak dan bisikan lirih Yasmin; ”Ya Allah, Tuhanku….terima kasih telah Engkau karuniakan hamba saat-saat yang baik ini. Dari sejak kecil hingga kini, tidak pernah Engkau mengecewakan hamba. Ya Allah, sembuhkanlah luka hati ini, ringankanlah mata penglihatan dan mata hati hamba jika melihat kebersamaan mereka. Bahagiakanlah mereka Tuhan. Dan cukuplah bagi hamba Allah dan RasulNYA". Mengalir air mata Yasmin, airmata keikhlasan, digelarnya sajadah ingin melewatkan malam itu bersama Tuhannya.

Hari pernikahan Dista dan Syam tidak kurang dari satu minggu lagi. Namun berita menggemparkan itu memecah keasyikan. Dista mendapat kecelakaan berat di tikungan jalan daerah Yogya saat sedang mempersiapkan pernikahannya. Saat Yasmin tiba di Rumah Sakit di Yogya, ia melihat Syam sendirian terpekur di sudut hall, berdesir hatinya, entah mengapa kini ia merasa iba melihat kekasih sahabatnya itu bak burung yang terluka sayapnya, merasakan kesedihannya yang luar biasa dan kekhawatiran akan kehilangan orang yang dicintainya. Namun perhatian Yasmin terbelah, suara pekik orang-orang di ruang UGD mengejutkannya. Yasmin melihat ibunda Dista menangis, dan Ayah Dista berdiri lemas, dipapah kerabat beberapa orang. Berdegup kencang jantung Yasmin, dan benarlah ternyata Dista dinyatakan telah meninggal dunia.Yasmin terguncang hatinya, namun di saat-saat seperti itu sisi lain dirinya menuntutnya untuk sadar, ada orang lain yang lebih “berhak” untuk merasakan kepedihan besar itu, dialah Syam calon suami Dista. Bergetar bibir Yasmin mengucapkan istirja: ”Innalillahi wa inna ilahi rooji’uun, sesungguhnya kami semua milik Allah,dan sesungguhnya kami semua kepadaNYA akan kembali.

------

Hari-hari Yasmin dan Syam kini menjadi sendu. Ditinggal orang yang dicintai dan dekat dengan mereka bukanlah hal yang mudah. Namun kebersamaan mereka telah mendekatkan kembali taqdir yang dahulu terasa jauh. Yasmin merasakan kini perhatian Syam kepadanya bertambah setiap hari. Perasaan berbunga yang dulu pernah dirasakannya kini datang kembali.Walau tidak sesemerbak dahulu karena jauh di lubuk hatinya, ada perasaan rendah diri yang sulit terhapus, dirinya hanyalah perempuan pengganti di sisi Syam setelah kepergian Dista. Namun ia berusaha untuk selalu mensyukuri kebahagiaan itu, masa lalu tidak mungkin dihapus, karena bagaimanapun itu telah terjadi.Yasmin mencoba merangkai kehidupannya kembali dan membangun cita-citanya.
Hari wisuda itu akhirnya datang juga. Orang tua Yasmin dan kedua kakaknya datang dari Aceh. Kebahagiaan yang membuncah dihatinya, kedatangan ibunya dan kelulusannya telah menambah seri di wajah cantik Yasmin, apalagi saat disadarinya ternyata Syam pun hadir untuk dirinya menikmati bersama kebahagiaannya. Itulah saat-saat yang mendebarkan hatinya dalam kehidupannya. Di hari wisudanya, Syam melamar dirinya kepada orang tuanya, memintanya untuk menjadi istrinya. Terasa terang benderang dunia Yasmin dan penuh aroma yang menyenangkan, walau entah mengapa lututnya saat itu terasa lemas.

Hari-hari Yasmin kini menjadi lebih berwarna. Tidak kurang dari 2 bulan lagi pernikahannya akan digelar. Syam pun telah membawanya berkenalan dengan kedua orang tuanya dan keluarganya. Keluarga Yasmin di Aceh pun sibuk mempersiapkan pernikahannya. Namun ada sedikit kekhawatiran Yasmin, mengingat telephone dari Syam malam tadi tentang keluhannya di bagian pinggangnya. Memang sudah beberapa minggu ini, Syam terlihat semakin sering mengeluh sakit. Namun Yasmin tidak pernah menyangka, seminggu kemudian setelah tak kuat menahan sakitnya dan Syam dibawa ke Rumah Sakit ternyata saat diperiksa oleh dokter ahli penyakit dalam, Syam dinyatakan menderita kelainan ginjal, satu ginjalnya telah tak berfungsi dengan baik, sedang satu ginjal yang lainnyapun dalam kondisi yang tidak terlalu baik. Saat itu juga Syam diharuskan menjalani rawat inap di Rumah Sakit.
Dua minggu sudah Syam dirawat di Rumah Sakit, berat badannya turun drastis, keadaanya tidak semakin membaik.Yasmin amat berduka melihat kekasihnya terbaring di pembaringan rumah sakit tanpa dirinya bisa merawat sepenuhnya. Statusnya yang belum menjadi istri yang sah menghalanginya untuk dapat sekedar menyentuhnya. Hanya kepada ibunda Syam ia dapat menitipkan sekedar buah tangan dan do’a tulusnya yang tak henti-henti ia alirkan dari bibir dan hatinya.Sedang keadaan Syam semakin memburuk saja, dan dokterpun telah menyerah sementara hari pernikahannya yang telah tertulis di dalam undangan telah sangat dekat tak kurang dari 2 hari lagi. Hingga terucap dari bibir tipisnya, kepada ibunda Syam:”Wahai ibu, saya tidak bisa duduk diam seperti ini saja. Laksanakanlah pernikahan kami pada waktu yang ditetapkan semula. Nikahkan kami sedang Abang Syam masih bisa mengenali saya. Izinkan saya berbakti kepadanya sebagai istri dalam keadaan sakitnya ini Ibu”.

Ibunda Syam memandanginya haru, di saat-saat di mana ia merasa tak pantas lagi mengharap cinta seorang bidadari untuk putranya yang telah kehilangan ketampanannya, kegagahannya, di saat dimana ia mengira hanya kasih orang tualah yang akan setia menemani penderitaan putra tercinta,Yasmin mengajukan diri untuk tetap melaksanakan pernikahannya hanya supaya dapat turut merawat sepenuhnya sang putra. Ibunda Syam memeluk Yasmin dan menangis di pundaknya, sementara Syam yang terbaring disamping mereka menitikkan air matanya tanpa mampu berkata-kata.
Ia merasa baru sekarang ia menemukan permata sejatinya
Tepat seperti yang telah tertulis di dalam kartu undangan, dilaksanakanlah pernikahan itu. Syam sudah tak mampu duduk, namun ia mampu melafalkan ikrar nikahnya walau dengan suara yang lemah. Semua yang hadir di kamar rumah sakit itu tertunduk, atmosfir ruangan dipenuhi keharuan melihat sepasang pengantin yang bersanding. Mempelai putri yang cantik mengenakan kerudung putih berhias bunga sederhana duduk di kursi, sementara Mempelai pria terbaring lemah di ranjang rumah sakit sedang lengannya dipenuhi jarum infus dan obat-obatan.
Maka dimulailah hari-hari penuh pengabdian Yasmin kepada suaminya di rumah sakit. Bahkan ia pun kini harus ikut memikirkan biaya yang harus ditanggung untuk perawatan dan pengobatan selama di rumah sakit. Jika ada waktu, saat menunggui suaminya Yasmin merajut benang untuk dibuatnya mainan atau topi-topi bayi yang lucu. Bukan untuk bayi mereka, tetapi untuk Yasmin jual kepada beberapa teman yang merasa iba dengan penderitaan keluarganya sebagai ikhtiarnya mencari nafkah karena disadarinya suaminya belum mampu melaksanakan kewajiban itu saat ini. Yasmin tidak tergoyah, rasa sedihnya tidak membuatnya berhenti tersenyum untuk Syam suaminya.Setiap ada waktu berdua,Yasmin selalu menceritakan hal-hal menarik yang ditemuinya, mulai dari rajutannya yang salah warna, perawat shift malam yang judes tapi suka memberinya segelas kopi panas, anak-anak teman mereka yang menitipkan hadiah untuk pernikahan mereka dan sebagainya.Yasmin ingin suaminya tidak terlalu menderita, setidaknya ia dapat melihat senyum di bibir Syam setiap hari sudah menjadi syurga baginya.

--------------

Yasmin masih bersimpuh di atas sajadahnya, saat tengah malam itu dari sudut matanya ia melihat tangan Syam mencoba menggapainya.Yasmin segera bangkit, dan menangkap jemari suaminya lalu didekapnya:”Ada apa sayang?”bisiknya. Syam menatapnya lekat dan berbicara dengan suara lemah: ”Terimakasih…” Syam tercekat, lalu ia melanjutkan bicaranya:
Abang rasa telah dekat waktunya…., Abang  mensyukuri semua nikmat Allah selama ini…bahkan penyakitku ini….tapi tidak ada nikmat Allah yang lebih besar daripada dicintai dan menikahi Yasmin Nurul Aini.  Abang memohon kepada Allah cukuplah Yasmin sebagai Bidadariku dan Abang ridha kepada adik sebagai istriku. Maafkan Abang belum menjadi suami yang baik ya....  tolong sampaikan  maaf abang kepada Ibu, Bapak Abang. Tentu saja Orangtuamu juga Dik. Sampaikan maaf Abang belum dapat membahagiakanmu....... Setiap habis sholat, ikutkan Abang dalam do’amu ya dik”. Yasmin meneteskan airmatanya dan menganggukkan kepalanya, pertanyaan bergelayut di pikirannya, adakah ini saatnya, inikah saat-saat perpisahan itu?.Namun Yasmin tak ingin menangis dihadapan suaminya, bahkan dalam saat yang kritis sekalipun Yasmin ingin tetap tegar mengantar sang kekasih kepada Kekasihnya yang lebih mengasihinya, IA lah Tuhan.
Yasmin mendekatkan bibirnya ke telinga Syam membisikkan kalimat-kalimat dzikir dalam zona pendengarannya. Terus demikian hingga mendekati Shubuh, saat akhirnya suaminya menarik nafas yang terakhir untuk berpulang kepada Sang Khalik. Yasmin sendiri yang menutupkan mata lelaki yang dicintainya itu. Dan tidak berhenti membacakan ayat-ayat AL-Qur’an di sisinya, hingga perawat shift pagi datang dan mengetahui keadaannya.

Yasmin masih berdiri di pantai itu. Kaki lembutnya disibakki air ombak yang terus meninggi. Diperbaikinya lagi kerudungnya yang dipermainkan angin laut. Yasmin menggerakkan bibirnya, berbisik lirih :” Ya Allah, tak ada yang terbaik selain dari QudrahMU, cukupkanlah hamba hanya denganMU. Terimakasih telah memilih hamba untuk melalui salah satu jalan taqdirMU untuk bertemu orang-orang yang hamba cintai walau diantaranya hanya sebentar saja, namun apalah arti sekejap atau pun lama di hadapanMU, tutuplah dan dinginkanlah luka hati hamba ya Rabby, jikalau ada alam lain tempat pertemuan para kekasih, pertemukanlah kami kembali ya Allah, jikalau tiada maka cukuplah Engkau saja bagi hamba”.

Yasmin memandang ke arah laut sekali lagi, matanya basah oleh air mata beningnya namun hari telah senja, suara adzan maghrib tidak lama lagi akan berkumandang. Yasmin memetik sekuntum bunga perdu lalu membalikkan badannya, berjalan menyusuri pesisir , hatinya bergetar oleh dzikir dan bibirnya melantunkan do’a-do’a.
--------------

Terimakasih untuk Rahma -19 bln- yang tak bosan menghampiri dan duduk di pangkuanku saat menulis cerita ini